Belajar Menulis Tanpa Mengeja– Ini adalah postingan lanjutan dari postingan yang sebelumnya. Kalau kemarin aku berbagi tips bagaimana membuat anak mau belajar membaca dan menulis secara menyenangkan di rumah tanpa paksaan, sekarang mungkin akan lebih detil lagi, yaitu menekankan bagaimana metode pengajaran-yang-menyenangkan tersebut. Metode ini sebut saja :belajar menulis dan membaca tanpa mengeja ala latifika.com.
Sebenarnya sih ala Montessori, tapi karena aturannya melenceng dan aku takut yang baca jadi misskonsepsi sama Montessori jadi akhirnya aku pakai nama ala ala deh, Tapi, intinya tetap memegang prinsip Montessori.
AhamduliLlah biidzniLlah, Muthia bisa membaca dan menulis dengan belajar sendiri di rumah di usia 5.5 tahun.
Sebenarnya kami bukan mau pamer atau membanggakan diri sendiri atau bahkan ingin mendapat impresi khalayak bahwa aku ibu yang bisa ngajarin anak. Bukan, bukan itu. Karena tujuan kami yang sebenarnya adalah menciptakan generasi yang melek literasi dari rumah. Jadi, bisa membaca dan menulis bukan target akhir karena PR kami masih terus berlanjut sampai dia benar-benar mencintai Ilmu dari kegiatan membaca dan menulis. Yah, walaupun aku termasuk ibu kebanyakan yang suka ngomel-ngomel dan mara-mara, tapi kalau urusan belajar akutu takut maksa anak, takut mereka akan trauma, takut menciptakan kesan buruk terhadap kegiatan belajar.
Sehingga, perjuangannya pun tidak instan dan anak tidak serta merta semangat belajar. Iya, Muthia pernah menolak tawaran belajar yang kuberikan. Dia juga pernah tidak semangat saat belajar. Maunya hanya mainan masak-masakan, mewarnai, bermain peran bersama hewan-hewan. Kalau sudah begitu aku tidak mau memaksakan belajar, takut berimbas negatif nantinya.
Baca lagi tentang calistung usia dini yang pernah aku tulis, yuk!
Dan khusus untuk proses belajar membaca dan menulis ini aku mengadopsi metode Montessori. Tidak sepenuhnya, bahkan mungkin tidak mirip saking aturannya banyak yang tidak dipakai, hihihi. Hanya saja konsep Montessori menjadi landasanku selama mengajari Muthia. Konsep belajar Montessori yang aku pahami adalah: belajar dengan menyesuaikan pola pikir anak yang cenderung konkret.
Dan sekali lagi, yang harus kita pahami, huruf dan angka itu adalah sesuatu yang abstrak di kepalanya. Kalau kita memaksakan mengajarkannya di usia sebelum 7 tahun otaknya akan kesusahan menyerap (bisa tapi kepayahan). Maka, Montessori menjembatani hal itu dengan membuat konsep seperti yang aku tulis sebelumnya: belajar membaca dan menulis dengan menyesuaikan pola pikir anak yang konkret.
Jadi, di dalam Montessori cara mengajarkan baca tulis adalah dengan menghadirkan huruf –yang notabene benda abstrak– menjadi benda yang konkret agar otak anak mudah mengidentifikasi dan menyerap informasi yang diberikan.
Berbekal konsep itu kemudian kami merancang pembelajaran mandiri di rumah bersama Muthia. Ada 5 cara yang berurutan yang aku terapkan, mulai dari; ✅pengenalan huruf secara konkret, ✅adaptasi konkret menuju abstrak, ✅sampai full abstrak alias akhirnya bisa membaca sendiri tanpa bantuan.
Dan karena metode ini berhasil membuat anak kami tidak sekedar bisa tapi juga menyenangi kegiatan belajar membaca dan menulis, maka sekarang aku ingin berbagi pengalaman belajar di rumah, dengan harapan bisa memberikan ide bagi orangtua lain.
Daftar Isi
Langkah-Langkah Belajar Membaca dan Menulis
🍓1. Mengenalkan huruf dengan huruf pasir
Hah? Huruf pasir?
Karena huruf adalah benda abstrak, sedangkan otak anak masih dalam level konkret, maka cara pertama yang kami lakukan adalah memperkenalkan dengan huruf pasir atau sand paper alphabet atau huruf yang dibentuk dari kertas amplas.
Amplas. Iya, amplas yang biasa buat menghaluskan permukaan yang mau di cat.
Amplas bentuknya seperti lembaran bertekstur kasar jika disentuh. Huruf dari kertas amplas membuat anak tidak hanya melihat bentuk-huruf saja seperti lazimnya di poster-poster huruf yang dijual di pasaran, tetapi bahkan mereka bisa meraba hurufnya,
“Oooh, kalau huruf C itu melengkung ke kiri ya, kalau U melengkungnya ke bawah“.
Jadi, kami membuat sendiri poster huruf dengan menggunting kertas amplas berbentuk huruf a-z kemudian ditempel di kertas karton.

Huruf dari kertas amplas ini akan memudahkan anak memasukkan informasi ke dalam otaknya tentang hal abstrak yang dipelajari (dalam hal ini huruf).
Bagi anak usia dini ketika mengenali sesuatu yang baru kemudian mengidentifikasinya dan memasukkannya informasi ke otak mereka perlu memainkan hampir semua panca inderanya.
Itulah dasar berpikir konkret.
Bikinnya memang melelahkan, tangan sakit dan bahkan sampai kapalan karena menggunting kertas tebal. Tapi, semuanya terbayar lunas saat anak antusias merabanya. Jauh sangat antusias jika dibanding belajar dengan poster abjad warna warni yang dijual di pasar.
Tapi kan, tapi kan…..bentuk posternya ga menarik, monoton banget, satu warna doank, ga kaya poster huruf biasanya warna-warni.
Eh, jangan salah…. Justru menurut Montessori warna warni itu bikin anak ga konsentrasi, buyar fokusnya karena sambil memperhatikan warnanya. Fitrahnya anak-anak itu suka keteraturan, maka jika membuat poster seperti ini lebih baik satu warna aja supaya anak ga gampang terdistraksi.
🍓2. Mengenalkan bunyi huruf (fonik)
Bunyi huruf? Mungkin terdengar asing di kepala kita. Tapi ya memang faktanya setiap huruf itu punya bunyi masing-masing, tanpa dipengaruhi huruf lain, khas, spesifik. Kalau dalam huruf hijaiyah mungkin sama dengan makhrijul hurf kali ya.
Aku mengenalkan fonik ini melalui lagu karena kebetulan sekali lagu mengenal fonik sekarang sudah ada dalam versi Bahasa Indonesia seiring dengan metode Montessori yang booming beberapa tahun lalu. Link videonya aku sertakan di sini ya.
Fonik ini sangat membantu Muthia ketika belajar menulis karena dia akan mengidentifikasi setiap bunyi huruf yang dikeluarkan oleh mulutnya kemudian menuliskannya.
Misalnya: rumah, dia akan mengidentifikasi satu-satu hurufnya; ru- rrrrrr (huruf yang membuat lidah bergetar) dan uuuu (memonyongkan bibir dengan celah kecil), kemudian mah- mmmm (bersuara dengan mengatupkan bibir rapat rapat) aaaa (buka mulut dan bersuara) lalu hhhhh (suara keluar dari dalam tenggorokan, mulut terbuka), maka jadilah tulisan r-u-m-a-h.
Iya, kami belajar fonik sampai segininya. Monyong monyong, mulut nganga nganga, suara desis desis. Wess lah pokoknya dari a sampai z kami belajar membunyikan hurufnya semua 😁. Udah kaya yang mau latihan vokal sama mba Bertha AFI ya (hiyaaa hiyaaa, ketauan angkatan berapa, wkwkwkwk).
Kalau kalian masih bingung tentang fonik coba buka link menuju lagu fonik di atas ya.
Terdengar sepele tapi trust me, tanpa belajar fonik aku ga tau bakal ngajarin anak menulis dengan cara apa.
🍓3. Merangkai kata dengan huruf dari artfoam (movable alphabet)
Baiklaah, sekarang kita akan masuk ke fase adaptasi konkret ke abstrak. Setelah kenalan sama huruf, mulai dari bentuk dan bunyinya, sekarang saatnya merangkai huruf menjadi kata.
Muthia tidak langsung belajar membaca dan menulis di buku. No no no. Menurutku saat itu dia belum siap karena stepnya terloncat langsung ke abstrak, akupun sudah merasa berat duluan. Maka kemudian, kami membuat huruf dari artfoam atau kertas busa untuk dibentuk menjadi huruf.
Belinya di mana? Di toko ATK atau online aja kalau susah nemunya.
Artfoam ini aku gunting membentuk huruf-huruf yang polanya aku cari di internet. 1 huruf ada 5 duplikat karena ketika belajar membentuk kata kemungkinan ada huruf yang sama terpakai. Huruf-huruf itu ditempatkan di kotak bersekat. Idealnya dari kayu, tapi karena malas bikin bahannya ga ada jadi dari kardus aja lah, gampil 😁.

Setelah membuat huruf artfoam lalu kami menyiapkan flashcard yang juga dibuat sendiri. Buatnya pakai aplikasi Canva di smartphone, gampang koq. Seperti ini contohnya ya;

Lalu setelah flashcard dibuat kami mengajak anak untuk menyusun huruf-hurufnya membentuk kata yang dimaksud. Seperti contoh di bawah ini, flashcard apel.
Sebenarnya lebih bagus lagi apel sungguhan kalau ada, karena lebih terindera oleh anak: bisa dilihat, dipegang bentuknya, dicium aromanya, bahkan bisa digigit. Kalau flaschcard kan ga bisa semua indera, hanya saja masih lebih baik daripada hanya menyuruh anak belajar membaca dan menulis tanpa gambar.

Oya, ukuran flashcard yang dibuat ini tidak mengikuti aturan standar flashcard sebenarnya, aku bener-bener cuma pakai ukuran yang ada di Canva seadanya, hohohoho *maafkeun *salim.
Di step ke-3 ini tidak lama dilewati karena sepertinya Muthia tidak betah main artfoam. Sungguh tidak sebanding dengan pengorbanan bikin huruf artfoam yang semingguan baru selesai *di situ rasanya Mak pengen garuk tembok.
🍓4. Membaca flashcard tanpa bantuan huruf artfoam
Setelah Muthia belajar menyusun kata dengan bantuan artfoam dan flashcard, sekarang saatnya melepas bantuan konkretnya sedikit demi sedikit. Tahap ke 4 ini masih adaptasi konkret ke abstrak namun saya hilangkan bagian artfoam-nya untuk membiasakan anak membaca tanpa bantuan.
Flashcard bisa kita buat mulai dari kata dasar sampai yang sudah berimbuhan, seperti; mengamati, menjelaskan, dll, untuk level yang lebih susah lagi. Hanya saja ketika sudah belajar kata berimbuhan sebaiknya dipotong per suku kata agar anak bisa belajar memenggal kata (bukan mengeja). Intinya agar memudahkan anak saja.
Jadi, inti dari step 3 dan 4 adalah orangtua hendaknya mengajarkan kata dengan visualisasi terlebih dahulu baru kemudian ditunjukkan susunan huruf pembentuknya.

🍓5. Membaca buku
Yeaaay, sekarang saatnya praktik langsung. Untuk pertama tentu pilihkan buku yang teks-nya hanya sedikit dan bergambar. Ingat ya, kita masih berhadapan dengan anak kecil yang normalnya berpola pikir konkret. Adanya gambar membantu dia mengkonkretkan tulisan yang dia baca. Lagipula kalau langsung buku dengan banyak tulisan akan menurunkan minat anak karena pasti tulisannya kecil-kecil. Aku sudah membuktikannya 😆.

Setelah itu biarkan anak memilih buku mana yang akan dibaca kemudian. Selagi kita sudah menyiapkan rumah ramah buku di rumah, tentu pilihan buku untuk dibaca anak akan beragam dan dia akan senang hati memilihnya, bukan?

Dan jangan kaget, setelah anak bisa membaca mereka akan terus mengasah kemampuannya: membaca apa saja yang lewat di hadapannya. Jadi, harap hati-hati dengan handphone kalian wahai Ibu-ibu, jangan sampai chat dengan pak suami terbaca mereka yang masih polos, jangan biarkan mereka ikut-ikutan nitip jajan sama ayah mereka karena meniru kelakuan ibunya.😌
And the last but not least, poin terakhir tapi tidak kalah penting adalah jangan lupa berdoa untuk dimudahkan memberikan pengajaran. Bukan hanya agar si anak mudah menyerap ilmu, tapi juga agar belajar bisa membawa kesenangan tersendiri dan pada akhirnya mereka dimudahkan untuk mencintai ilmu. Tanpa doa usaha kita rentan, kalau berhasil akan membawa kesombongan, kalau gagal akan membuat kita stress.
Nah, itulah cara yang kami terapkan di rumah untuk si sulung. Karena dari awal mengajarinya tidak dengan mengeja alhasil bisa membacanya pun tanpa mengeja. Dan bisa dibilang tidak murni menggunakan Montessori -karena banyak sekali aturannya yang kami skip mengikuti fleksibilitas di rumah-, tapi konsepnya memang sangat melandasi cara belajar yang kami pakai.
Baca juga: Ma, Bolehkah Aku Malas Belajar?
OK, sekian dulu yaa sharing parenting kali ini. Semoga apa yang Mak tulis membawa manfaat. Terimakasih sudah meluangkan waktu untuk membaca.
Wassalam!
Bukan tentang seberapa cepat anak bisa membaca buku, tapi tentang seberapa besar minatnya terhadap buku dan ilmu pengetahuan
Mantab mba caranya dulu pas Neyna belajar baca aku lebih emosyenel wkwkwk karena ga nemuin cara yang pas. baca ini jadi kefikiran buat cara anak keduaku apalagi yang huruf berpasir itu hehehe bisaan idenya kreatif dari amplas bisa jadi media belajar
Trimakasih banyak bunda keren🖒🖒 akan saya coba dan ini bukan hanya untuk anak saya tp juga anak didik saya
Wah seru banget selain edukatif kreatif juga ini ya kak. Sekalian bermain sambil belajar, pasti mengingatnya akan lebih mudah hihi
dan di anak jadi ga beban, itu yang terpenting
metode yang bagus dan menarik mbak. keren sih
makasih Pak
Ini aku pernah praktikkan ke keponakanku, disamping dia belajar di sekolahnya. Kalau keponakanku paling senang yang baca buku dongeng. Kalau tiap hari dilatih terus, jadi makin lancar membaca.
iya Mba, the power of bacain buku itu ternyata keren sekali. Bersyukur banget kalo nantinya bikin anak suka baca buku
Wahh seru banget yaa ternyata..kudu di praktekin deh yaa ini tu
iya Ka, coba yuk
Bun mau tanya
Kalo ngajarin nulisnya gimana y?
Terimakasih
Wah, aku baru tahu lho sistem seperti ini. Terkesan ribet karena belum terbiasa, tetapi seru juga ya… Wajib rajin praktek ini
Mbak keren banget deh. Salut banget untuk belajar bareng dg anak. Dari menggunting-gunting kardus menjadi huruf, kebayang dah itu tangan pegel banget.
Belajar bareng untuk mengenalkan huruf dan membaca sama anak memang kudu telaten dan ulet, ya. Rela bibir monyong-monyong agar anak tahu bunyi dari suatu huruf.
makasih sharingnya, mantap ya, jaman anak2 masih kecil ngajarnay gak seperti ini
Sama-sama Mba. Iya, dulu ga ada yang kenal Montessori soalnya, hehe
Bun maaf mau tanya
Cara ngajarin nulisnya gimana?
Trs itu sandpaper nya lowercase aja y?
Terimakasih
Sebenarnya naluri anak lebih dulu bisa menulis daripada membaca. Jadi ketika bisa membaca dia lebih dulu antusias menulis. Kan itu ada sand paper ya, latihan menulisnya dari sana. Tracing huruf.
iya, saya pakai lowercase aja Bu untuk pengenalan membaca dan menulis. Kalo sudah mahir langsung aja mengenalkan ke uppercase tanpa sandpaper. Kalo saya yaa….namanya juga ala. Hehehe