BLANTERWISDOM101

Kisah Setetes Madu Kalulut dari Hutan Terakhir Kalimantan

Kamis, 13 Februari 2020

 Assalamu'alaikum....

Bonjour everyone? Apa kabarnya? Semoga dalam lindungan Sang Pencipta dengan kesehatan yang paripurna dan terjaga.

Zaman sekarang, dimana udara bersih makin sedikit, makanan alami semakin sulit, tapi gaya hidup makin melangit, membuat orang lebih rentan sakit. Belum lagi bicara soal ketidakseimbangan alam. Ah, saya makin bingung mengapa banyak yang bungkam, bukankah orang-orang serakah itu harus diredam, diingatkan lagi bahwa alam ini bukan warisan melainkan titipan? Titipan dari anak cucu agar kita menjaganya untuk mereka.  

Padahal sang rimba sudah menyediakan udara bersih untuk kita mengisi paru-paru dan sumber air serta makanan untuk kelangsungan hidup anak cucu. Dia tidak ingin minta balasan: tidak minta kita pupuk, tidak minta kita siram. Dia hanya ingin kita membiarkannya, melestarikanya, agar bisa menjalankan dengan sunatulloh-nya. 

Inilah kisah setetes madu kalulut yang selama ini mengisi perut anak-anak Meratus, sang rimba terakhir dari Kalimantan Selatan.

Forest for Live

Jika ditanya "apakah manfaat dari hutan?".

Anak SD pun bisa menjawab dengan mudah: sebagai sumber oksigen, sumber air, sumber pangan, dan bagian dari keseimbangan ekosistem dunia.

Lalu, jika ada pertanyaan pilihan ganda "Bagaimanakah memperlakukan hutan?" dengan opsi: melestarikan, menebang, atau merusak. Bahkan anak kelas 1 SD  bisa menjawab dengan mudah: melestarikan.

Tapi, ketika anak-anak SD yang polos itu berubah menjadi dewasa mereka seakan lupa dan justru melakukan hal yang sebaliknya. Membabat hutan, menggundulinya, mengganti pohon rimbun berakar kuat dengan tanaman perkebunan yang akarnya malah merusak struktur tanah dengan dalih "komoditi ekspor". Atau lebih parah lagi menjarah hutan demi pertambangan.

Padahal memusnahkan hutan sama dengan memusnahkan kehidupan. Oke lah dari perkebunan dan pertambangan mereka dapat penghasilan yang sangat besar, bisa membuat rumah sebesar istana dengan taman yang cantik, apalagi hanya sekedar membeli mobil mewah. Semua bisa dibeli dengan mudah dengan hasil "usaha" mereka yang mendatangkan uang dengan sangat cepat.

Tapi, ketika hutan rusak apa yang terjadi? Setiap musim hujan banjir bandang menerjang. Mobil mewah dan rumah-rumah terendam. Jika datang musim kemarau air tanah susah, kekeringan dimana-mana. Belum lagi bicara suhu udara yang semakin tinggi seiring menghilangnya hutan di muka bumi secara perlahan.

Mengutip dari laman National Geographic, dikatakan bahwa NASA pernah mempublikasikan sebuah video timelapse. Hanya dalam waktu 36 detik, video tersebut memperlihatkan sejarah suhu permukaan bumi sejak 1880 hingga 2017.

NASA mengumpulkan data suhu permukaan bumi dari beberapa jaringan seperti 6300 stasuin cuaca, kapal, dan pusat penelitian Antartika.  Di abad 19 dan pertengahan abad 20, suhu berfluktuasi dengan rapi. Menunjukkan warna biru di beberapa area. Hanya sedikit warna oranye dan merah di tempat lain yang cuacanya lebih panas. Namun, memasuki tahun 1980, peta bumi di video tersebut perlahan-lahan penuh dengan warna kuning, oranye, hingga merah. Lebih sedihnya lagi, dari 2013 hingga 2017, area berwarna merah semakin banyak. Periode tersebut resmi menjadi lima tahun terpanas bumi sepanjang sejarah. 

Sepenting itu memang fungsi hutan. Dari akar hingga pucuk daun setiap pepohonan ada nasib bumi kita di sana. Akar yang merayap dan menghujam ke dalam tanah bukan tanpa maksud. Akar-akar berumur ratusan tahun itu mengikat tanah dan air, mencegah erosi saat banjir, menyediakan air lewat mata air permukaan dan dalam tanah yang mengalir. Jika musim hujan tidak mudah banjir, jika musim kemarau tidak kesulitan air.

Sama sekali tidak bisa digantikan dengan akar-akar serabut tanaman perkebunan yang umurnya juga hanya tahunan.

Daun-daun rimbun di hutan juga memasok oksigen untuk kelangsungan hidup semua makhluk hidup di bumi. Pun turut menjaga suhu udara tetap sejuk. Generasi yang lahir tahun 1980-an pasti merasakan bedanya. Dulu, waktu tidur siang cukup dikipas tangan oleh mama. Sekarang ketika kita sudah jadi orangtua kipas tangan pengantar tidur sudah tidak mempan, karena minimal kipas angin baru terasa sejuknya.

Hutan Sumber Makanan

Hidup di garis khatulistiwa membuat hutan kita diberkahi sinar matahari dan hujan sepanjang tahun. Hal ini membuat hutan kita menjadi surga tropis karena tempat berkumpulnya berbagai jenis tanaman, baik yang berupa kayu atau non-kayu. Berbeda halnya dengan hutan di negara 4 musim yang biasanya homogen, hanya satu jenis. Maka, bersyukurlah teman!

Sejak dulu kala, nenek moyang kita tak terpisahkan dari hutan karena semua keperluan hidupnya disediakan oleh hutan. Karena merasa hidupnya sangat bergantung dengan alam, mereka pun bisa dengan bijak memperlakukannya. Misal, ketika berburu hewan untuk dimakan, mereka akan menangkap untuk dimakan hari itu saja. Karena selain tidak ada tempat menyimpan daging mereka juga tidak mau mengganggu keseimbangan alam.

Selain sumber makanan, ternyata hutan juga menjadi sumber obat yang berasal dari herbal yang tumbuh subur di dalamnya. Seperti yang diungkap oleh salah satu peneliti dari jurusan Farmasi Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Bahwa tanaman seperti matoa, jualing, bilaran tapah, racun ayam, dan mundar yang memiliki senyawa antioksidan untuk pengobatan kanker, jantung, dll. Tentunya setelah melewati serangkaian penelitian dan uji coba.

Luar biasa manfaat hutan bagi manusia ya? Jika dipikirkan dengan logika sehat, kita akan kehabisan alasan untuk tidak menjaga hutan agar tetap lestari. Namun, mengapa deforestasi tetap terjadi bahkan tiap tahun semakin parah membuat kawasan hutan semakin mengecil?

Rimba Terakhir Kalimantan

[caption id="attachment_1090" align="aligncenter" width="300"] Komik by @ghumpnhell dan @bersihkanindonesia[/caption]

 

Mungkin orang sudah banyak tahu bahwa Kalimantan adalah salah satu paru-paru dunia.Tapi, tak banyak yang tahu bahwa Meratus adalah salah satu alveolus-nya. Meratus adalah nama pegunungan yang membentang dari selatan sampai utara, bahkan menyeberang hingga ke provinsi tetangga. Di dalamnya terdapat pegunungan karst (hutan batu) yang menyimpan cadangan air terbaik serta hutan hujan tropis dengan segala ragam flora dan fauna yang saling bersimbiosis mutalisme dengan tempat tinggalnya.

[caption id="attachment_1130" align="aligncenter" width="225"] Ada kurang lebih 500 spesies Anggrek di dalam Meratus (Sumber: dokumen pribadi)[/caption]

 

Hanya saja semakin tahun wilayah hutan Meratus semakin mengecil. Berganti dengan warna cokelat spiral dan barisan tanaman berjejer rapi khas daerah tambang dan perkebunan sawit jika dilihat dari foto satelit.

Kami pernah tinggal selama 1.5 tahun di daerah yang tanahnya habis untuk tambang dan sawit. Panasnya luar biasa. Miris dan rasanya ingin menangis saat melihat hutan yang dulu rimbun beralih fungsi seperti itu. Tapi, warga bisa apa saat korporasi dimiliki oleh penguasa daerah? Tidak ada yang bisa dilakukan masyarakat selain....yah akhirnya menjadi tenaga kerja. Mau bagaimana lagi, menggarap tanah untuk pertanian eh air tanah di sekitarnya kering, tersedot akar kelapa sawit yang ada di seberangnya. Akhirnya tanaman menjadi tidak subur. Daripada  modal yang dikeluarkan lebih besar akhirnya dijual kepada korporasi untuk ditambang atau dibuat perkebunan sawit.

Kok mau sih? Ya karena tidak ada regulasi.

Ditambah iming-iming uang banyak dalam sekejap tanpa harus peras keringat. Apalagi yang merasa punya tanah di hutan dan menganggap dirinya tidak bisa mengelolanya, punya tanah tapi tidak menghasilkan pundi-pundi, karena memang tidak ada pembinaan dari pemerintah setempat. Apa yang terjadi? Dijual kepada perusahaan-perusahaan itu. Uang pun hadir di depan mata dalam sekejap tanpa harus peras keringat. -

Enak?

Eits, tunggu dulu....Sudah (terlalu) banyak contohnya warga yang akhirnya mengalami kebanjiran saat musim hujan dan kekeringan saat kemarau. Padahal sebelum-sebelumnya mereka mengaku tidak pernah mengalami hal itu. 

Padahal jika ada regulasi dari pemerintah tentang larangan alih fungsi hutan, rimba kami mungkin tetap lestari sampai sekarang.

Jalan Terjal yang Menghadang 

Ada 8 kabupaten di Kalimantan Selatan yang dilewati oleh pegunungan Meratus. Pegunungan yang punya luas 600 km persegi ini membentang nyaris di semua kabupaten di provinsi ini, di antaranya: Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kabupaten Balangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), Kabupaten Tabalong, Kabupaten Tanah Bumbu, Kabupaten Tanah Laut, Kabupaten Banjar dan Kabupaten Tapin, hingga 3 kabupaten di Kalimantan Timur dan 2 kabupaten di Kalimantan Tengah. 

Dan dari ke-8 kabupaten tersebut lebih dari separuhnya sudah mengalami deforestasi, entah karena pertambangan batubara, perkebunan sawit, ataupun kebakaran hutan secara massif yang menyumbangkan asap hingga ke negeri jiran. Padahal sekali lagi, Pegunungan Meratus sangat berarti bagi kehidupan masyarakat Kalimantan Selatan. Di sana pula terdapat Waduk Riam Kanan yang menjadi sumber energi PLTA untuk wilayah Kalselteng, tempat pertemuan sungai-sungai dari bagian atas Meratus sekaligus menjadi wilayah pertengahan di provinsi ini. 

Tapi, masih ada kabupaten yang masih teguh menjaga kelestarian Meratus, salah satunya adalah Hulu Sungai Tengah (HST). Sebuah angin segar yang berasal dari kesolidan antara pemerintah daerah dan masyarakatnya menentang dengan tegas adanya praktek tambang di wilayahnya. Mereka kompak tidak ingin menjual tanah mereka kepada korporasi tambang. Sehingga boleh dibilang HST adalah kabupaten yang paling terjaga alamnya di antara provinsi yang ada di Kalimantan Selatan. Sungai Batang Alai dan Sungai Barabai adalah urat nadi kehidupan masyarakat dan mereka sangat paham betul pentingnya Meratus bagi kehidupan. Dan sampai sekarang dua sungai itu masih jernih.

Berita terakhir, Meratus di wilayah HST terancam oleh keberadaan perusahaan tambang dari India yang mengantongi izin dari Menteri ESDM.  Padahal di Desa Nateh yang jadi incaran tambang terdapat kawasan karst; bagian dari ekosistem hutan dengan sumber cadangan air terbaik yang harus dilindungi.

 

[caption id="attachment_1093" align="aligncenter" width="452"]www.latifika.com Entah apa yang merasukinya. Desa Nateh berikut pegunungan karst ini masuk wilayah yang diincar tambang (Sumber: Mapala Meratus)[/caption]

 

Setelah jalan terjal yang diperjuangkan pegiat #SaveMeratus dari masyarakat lokal dan WALHI sejak 2017 akhirnya puji syukur alhamdulillah kasasi yang diajukan Walhi ke Mahkamah Agung (MA) melalui PTUN Jakarta telah dikabulkan pada tanggal 15 Oktober 2019.

Dua tahun jatuh bangun memperjuangkan lewat jalur pengadilan akhirnya si benteng terakhir Kalimantan Selatan berhasil diamankan. Namun, ini bukan akhir perjuangan, sebab SDA yang melimpah akan selalu jadi incaran manusia serakah. Selalu.

[caption id="attachment_1113" align="aligncenter" width="361"] Jalan terjal itu...[/caption]

 

Maka lewat tulisan ini saya ingin ucapkan terimakasih kepada WALHI dan juga kepada pejuang #SaveMeratus. Saya menulis ini dengan air mata mengingat perjuangan mempertahankan rimba terakhir yang hanya "sejengkal" ini ternyata sangat rumit.

 Madu Kalulut yang Mengisi Perut Anak-Anak Meratus

Jika manusia merasa terikat dan sadar akan pentingnya hutan sebagai penyambung nyawanya, maka dia tau bagaimana caranya berterimakasih.

 

Seperti yang sudah saya bilang sebelumnya, alasan mengapa banyak masyarakat yang tergiur menjual tanahnya untuk ditambang dan ditanami kelapa sawit salah satunya adalah karena mengolah tanah lebih lama menghasilkan uang dibanding langsung menjualnya. Ditambah regulasi yang lemah dan minimnya pembinaan kepada masyarakat menjadikan hutan Meratus cepat sekali tergerus. 

Lalu, kenapa HST bisa menjadi satu-satunya wilayah Kalsel yang bebas tambang batubara dan perkebunan kelapa sawit? 

HST wajib bersyukur karena punya pejabat yang pro Meratus dan rakyat yang sangat mencintai alamnya. Ditambah lagi edukasi di sana sangat terasa. Sampai tetua Desa Nateh siap pasang badan melawan penjarah tanah desa mereka. 

Apalagi?

Ternyata, di sana juga terdapat pembinaan kepada masyarakat. Jadi, setelah edukasi disampaikan, pemerintah setempat juga punya program pemberdayaan sebagai bentuk aplikasi dari teori "menjaga hutan". 

Dinas Kehutanan, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), Balai Pengelola Daerah Aliran Sungai (BPDAS), dan instansi terkait lainnya adalah lembaga pemerintah yang mengayomi program pemberdayaan hutan yang melibatkan masyarakat HST. 

HHBK atau Hasil Hutan Bukan Kayu adalah salah satu program yang sangat digalakkan untuk menjaga ekosistem hutan tetap berjalan dengan baik sekaligus sarana agar masyarakat bisa merasakan manfaat hutan tanpa harus habis membabat.

Apa saja yang termasuk HHBK di HST? Di antaranya; karet, bambu, kayu manis, rotan, mau, dan banyak lagi.

Dan dari HHBK di atas yang paling sering dikonsumsi dan menjadi favorit kami oleh keluarga kami adalah madu. Madu menjadi kesukaan anak-anak terlebih bisa menggantikan gula ketika mengolah minuman.

Tentang Madu Kalulut

Madu ini dikenal dengan nama madu klanceng di Jawa atau madu kelulut di Sumatera dan Kalimantan (dialek urang Banjar: kalulut) adalah jenis lebah Trigona yang merupakan spesies lebah terkecil. Karena ukurannya yang kecil inilah lebah bisa masuk ke dalam bunga-bunga berbagai ukuran, menjadikan madu yang diperolehnya tinggi nutrisi. Kandungan vitamin, mineral, dan enzym nya sangat tinggi ditambah propolis yang ikut terfrementasi di dalam madu kelulut menambah nilai gizinya. 

 

[caption id="attachment_1103" align="aligncenter" width="342"] Lebah Trigona sp (Sumber: kebumenhow.com)[/caption]

 

[caption id="attachment_1083" align="aligncenter" width="339"]madu kelulut HST www.latifika.com "Taruna Tani Remaja Kalulut", salah satu pembinaan kepada para pemuda HST (Sumber: Fauzi Rahman)[/caption]

Hanya saja ada beberapa orang yang mengira madu kelulut adalah madu palsu karena kepekatannya rendah alias lebih encer dibanding dengan madu jenis lain. Namun, ternyata kandungan nutrisi di dalam madu kelulut justru lebih baik karena vitamin, mineral, dan enzym yang dihasilkan juga berkali lipat. Dan ini saya buktikan ketika si bungsu baru sembuh dari sakit. Kebetulan sekali paketan madu kelulut ini sampai di saat yang tepat. Alhamdulillah ada perubahan signifikan, yang tadinya malas-malasan makan dan hanya ingin susu sekarang sudah berselera menyantap apa saja seperti sebelum sakit.

 

 

Ditambah lagi makanan lebah Trigona sp. adalah flora yang ada di sekitaran hutan. Sehingga warna dan aroma madu dari jenis ini bisa saja berbeda setiap kali panen. Makanannya yang masih alami dari hutan (dan bukan cairan gula) membuat saya kemudian yakin memberikannya pada anak. Padahal selama ini saya akui sangat jarang membelikan madu karena tidak yakin dengan yang ada di pasaran.

[caption id="attachment_1102" align="aligncenter" width="225"] Hasil Pangan dari Hutan - Madu Kelulut[/caption]

 

Awalnya saya mencoba membeli 300 ml madu kelulut dari peternak di Desa Bapeang. Ternyata benar, memang madunya terlihat encer daripada madu yang pernah saya beli sebelumnya. Sempat curiga awalnya, tapi setelah saya cross-check di website ternyata memang begitulah tekstur khas madu dari Trigona sp. ini. Untungnya saya membelinya di peternaknya langsung dan ternyata kebetulan beliau sekaligus menjadi koordinator wilayah untuk peternak kelulut. Jadi, sudah pasti jaminan orisinalitasnya. Bagaimana dengan rasanya? Ternyata rasa madu kelulut ini manis, sedikit asam, dan ada sensasi kelat di akhirnya. Unik!

Saya pun iseng bertanya, apakah usaha ini primer atau hanya sampingan. Ternyata bagi beliau, ini adalah usaha primer karena 300 sarang yang dikelolanya dari nol sejak 2010, sekarang mampu menghasilkan uang sekitar 5 jutaan dalam sebulan, untuk madunya saja. Belum ditambah dengan hasil propolis dan bee polen. Nah, lumayan sekali kan. Asal tekun menjalani ternyata pemanfaatan hutan jauh lebih baik dibanding dengan menggadaikannya kepada korporasi.

 

[caption id="attachment_1097" align="aligncenter" width="359"] Jika sabar dan telaten semua bisa menghasilkan (In frame: Fauzi Rahman, koordinator peternak kelulut HST)[/caption]

 

Madu selain diminum langsung, bisa juga ditambahkan ke dalam jamu atau smoothies. Madu bisa menggantikan gula dengan menjadikan minuman tersebut bertambah nilai gizinya karena nutrisi yang ada di dalamnya. Seperti yang sering saya lakukan, membuat jamu tanpa ampas dengan bahan: jahe, kunyit, serai, jeruk nipis. Biasanya saya membuatnya jika ingin kehangatan, eh, maksudnya ingin minuman yang hangat-hangat. Apalagi di musim hujan seperti ini. Biasanya tanpa tambahan gula saja sudah enak. Rasanya kecut, pedas, hangat. Tapi kali ini karena di rumah ada madu jadi saya bisa tambahkan madu kelulut di dalamnya. Semoga minuman  bernutrisi tinggi bisa membantu imunitas saya di musim "sakit" seperti ini.

[caption id="attachment_1119" align="aligncenter" width="272"] Ultimate drink alias jamu tanpa ampas ditambah madu kelulut[/caption]

Selain berkhasiat sebagai minuman tinggi nutrisi, madu juga bisa digunakan sebagai masker wajah. Masker wajah dari madu ini biasa saya pakai tipis-tipis agar tidak risih karena lengket. Hasil yang pertama langsung dirasakan adalah wajah akan terasa lembab dan kenyal. Jerawat dan bruntusan juga perlahan mengempis (walau tidak terjadi dalam 1x pemakaian), mengingat madu ini juga mengandung propolis yang berfungsi sebagai anti bakteri. Bahkan katanya jika dipakai rutin dalam jangka waktu lama bisa sampai mengurangi flek hitam. Mungkin karena kandungan enzym dalam madu kelulut yang tinggi mampu membantu regenerasi sel hingga ke tingkat terdalam. Hmmm, yang punya sun spot boleh dicoba nih.

 

***

Begitulah sekelumit kisah madu kelulut yang menjadi potensi sumber mata pencaharian di hutan Meratus wilayah HST. Sangat menjanjikan pundi-pundi rupiah karena madu selalu dicari orang, apalagi dengan kualitas lebah yang makanannya masih alami langsung dari hutan.

Sebenarnya alam sudah menyediakan keperluan manusia, tidak hanya air dan udara, tapi juga pendapatan. Dan sebagai makhluk yang paling tinggi derajatnya karena diberikan akal, seharusnya manusia bisa memikirkan bagaimana memperlakukan hutan dengan bijak. Maka #SaveMeratus, sang rimba terakhir Kalimantan Selatan adalah harga mati.

Baca juga kisah bahan pangan dari Meratus khas Banjar, mandai, yang ditulis oleh Mba Ruli Retno

 

 

Sumber referensi:

  • Foto dokumen pribadi
  • Foto dokumen Fauzi Rahman
  • Foto kebumenhow.com
  • Foto apahabar.com
  • Potret Hutan Indonesia - Walhi (pdf)
  • https://id.wikipedia.org/wiki/Pegunungan_Meratus
  • https://nationalgeographic.grid.id/
  • https://kalsel.prokal.co/read/news/29594-savemeratus-dikabulkan-ma-kabulkan-kasasi-dan-gugatan-walhi.html
  • https://biotrigona.com/mengenal-lebah-trigona-atau-klanceng-kelulut/

Disclaimer:

Artikel ini diikut sertakan dalam lomba Walhi x Blogger Perempuan Network dengan tema: Forest Cuisine. Adapun madu kelulut saya peroleh dengan uang pribadi dan bukan endorsement. 

Share This :

0 komentar