Semangat Generasi Muda Menjaga Bumi - Kalian pernah dengar gak, kalau kerusakan alam yang terjadi di bumi 3x lebih cepat dibanding usaha perbaikannya?
Atau mungkin lebih cepat lagi? Bisa jadi.
Atau, kalian juga pernah dengar istilah climate anxiety? Itu tuh, perasaan cemas karena memikirkan dampak perubahan iklim yang semakin mengganas.
Ya, aku pernah jadi salah satu orang yang sempat mengalaminya sejak insiden karhutla besar 2015 lalu yang disusul badai besar hingga merobohkan tidak kurang 5 tower SUTT PLN. Rasanya hidup jadi tidak lagi tentram, apalagi jika memikirkan bagaimana nasib anak-anak jika sekarang saja buminya sedang tidak baik-baik begini? Cemasnya sampai bikin gak semangat mau ngapa-ngapain. Padahal, seperti kata orang-orang: live must go on.
Lagian kalo pikir-pikir lagi, buat apa cemas terus-terusan begini. Sudah gak mood, juga nambahin stress sendiri. Muka 30 pun jadi terlihat 40.
Sejak itulah, aku memutuskan untuk belajar membuat eco enzyme, kompos, menanam pohon di sekitaran rumah, dan belajar membuat sabun ramah lingkungan. Ternyata, kegiatan baru ku ini ampuh menghalau kecemasan berlebih soal nasib bumi. Bagiku, climate anxiety penawarnya adalah take action. Seperti yang dilakukan oleh senior-senior yang menjadi narasumber dalam online gathering bareng #EcoBloggerSquad kali ini. Siapa aja ya? Yuk, simak sama-sama.
Eathink
Siapa yang ngeh soal kasus obesitas yang akhir-akhir ini sering diberitakan di media sosial? Di sisi lain, pemerintah lagi gencar-gencarnya kampanye soal cegah stunting usia dini. Terlihat bersebrangan ya.
Dari pemaparan Mba Jaqualine Wijaya, Indonesia masih menghadapi beban ganda malnutrisi, dimana ada
- 30.8% anak-anak di bawah 5 tahun yang mengalami stunting
- 10.2% anak-anak di bawah 5 tahun kelebihan makanan
- 10.9% perempuan dewasa (18 tahun) dan 6.3% laki-laki dewasa yang hidup dengan obsesitas
Jadi, bisa dibayangkan ya, gap-nya cukup besar, di satu daerah anak-anak kelaparan, di daerah lain justru kelaparan hingga mengalami keterlambatan tumbuh kembang.
Bahkan kalau diperhatikan, Indonesia berada di posisi ke-10 dunia soal buang-buang makanan (ke TPA). Duh, miris sekali jika mengingat angka stunting yang di angka 30%.
Sedihnya lagi, kegiatan buang-buang makanan tertinggi justru ada di tataran rumah tangga. Seperti yang sudah kita tahu, sisa makanan yang notabene bahan organik jika terbuang ke TPA akan menghasilkan gas metana yang sangat merusak ozon. Artinya, makanan yang kita buang menyumbang peran dalam memperparah perubahan iklim.
Sedih kan, Buk?
Lalu, kita harus bagaimana?
- Utamakan makan makanan musiman yang ditanam petani lokal daripada membeli versi impor. Makanan lokal punya jejak karbon lebih rendah karena rantai distribusi yang lebih pendek. Memilih buah musiman bisa mencegah terjadinya food loss di level petani dan penjual.
- Mengurangi panganan daging, terutama daging merah (sapi) karena ternyata peternakan juga menyumbang emisi gas rumah kaca, bahkan sejak pembukaan lahan peternakan -yang sekaligus mengurangi tutupan hutan.
- Biasakan membaca label pada kemasan dan menimbang, apakah makanan tersebut padat gizi atau kosong melompong. Jangan sampai kita merasa sudah memberi anak-anak kita makanan, tapi ternyata nutrisinya nol.
- Kurangi food waste yang berakhir di landfill, coba usahakan untuk mendaur ulang nya sendiri menjadi eco enzyme dan kompos, pembersih dan pupuk yang bisa kita buat sendiri.
Baca juga: Aku dan Eco Enzyme
Baca juga: Pembuatan Biopori untuk Resapan dan Kompos
SKELAS
Lanjut ke pemateri kedua.
Kali ini ada SKELAS yang datang dari pemuda Andalas, tepatnya Kabupaten Riau. SKELAS tidak lain akronim dari Sentra KrEatif LestAri Siak. Terdiri dari pemuda-pemuda Siak yang mendirikan pusat inovasi dan kreasi untuk meningkatkan perekonomian masyarakat, sekaligus pelestarian alam dan kearifan lokal.
Salah satu contoh produk yang dikembangkan oleh SKELAS adalah minuman nanas yang mereka namakan Puan Pina. Sebagai masyarakat yang hidup di tanah gambut, nanas memang jadi buah primadona. Penanaman nanas, selain untuk diambil buahnya juga punya fungsi lain yang juga penting: mencegah meluasnya karhutla jika musim kemarau panjang.
Selain nanas jadi Puan Pina, bekatul juga naik kelas di tangan SKELAS. Siapa sangka, bekatul yang paling mentok jadi pangan pitik, bisa di-upgrade jadi cemilan yang sehat bernama Bolu Kemojo.
Dalam produksi kedua panganan lokal ini, SKELAS berkolaborasi dengan petani lokal di Siak, karena mereka punya program KUBISA (Inkubasi Bisnis Lestari).
Melihat SKELAS begitu mendukung perekonomian masyarakat lokal, mau tidak mau aku jadi ingat bahwa di Palangkaraya, tempat tinggalku juga ada sejenis UMKM hijau yang memanfaatkan sumber daya alam gambut. UMKM ini memproduksi sedotan ramah lingkungan berbahan dasar purun, tanaman khas gambut. Sama dengan SKELAS, UMKM yang saya maksud ini juga meningkatkan pendapatan masyarakat lokal sekaligus mencegah meluasnya kebakaran lahan jika terjadi karhutla. FYI, tanaman purun yang kering akan menjadi bahan bakar saat karhutla, namun jika secara berkala tanaman ini dipanen dan dijadikan sedotan, purun yang kering akan tergantikan dengan purun kecil yang basah dan hijau, sehingga mengurangi potensi menjadi pemantik kebakaran.
Tonton juga: Sedotan Purun, Green UMKM Palangkaraya
Trend Asia
Lanjut ke pemaparan narsum ketiga. Kali ini disampaikan oleh Kak Amalya Reza selaku manajer bioenergi dari Trend Asia. Trend Asia adalah sebuah akronim dari Transformation of Energy and Sustainable Development in Asia yang tidak lain tujuannya untuk mempercepat transformasi energi dan pembangunan berkelanjutan di Asia.
Tujuannya sih mulia sekali ya, bagaimana bisa membangun perubahan energi yang sustainable. Sederhanya, energi yang dimaksud jika dipakai tidak merusak lingkungan atau punya dampak ekologis yang minimal.
Sayangnya, hal ini kurang dibahas. Maksudku, energi yang sustainable itu yang gimana? Penerapannya yang konkrit dimana? Kayaknya kurang dibahas. Entah karena kurangnya waktu (karena kita punya 3 narsum sekaligus, padahal biasanya 2 aja udah mepeett banget) atau pas akunya yang kurang memperhatikan.
Tapi, ada insight baru yang aku dapatkan, bahwasanya pemerintah telah merencanakan transformasi bioenergi ala mereka. Wow, coba tebak, apakah itu? Eng ing eng........... Ibarat drama, ini mah cukup plot twist buat kita-kita yang udah ngarep banget.
Apakah itu?
Yap, co-firing. Mengutip dari situs pemkab Jabar, 'Co-firing" adalah substitusi batu bara pada rasio tertentu dengan bahan biomassa seperti "pellet" kayu, sampah, cangkang sawit dan "sawdust" (serbuk gergaji). "Co-firing" ini dilakukan tak sekedar mengurangi emisi, tetapi juga memberdayakan masyarakat dan membangun ekonomi kerakyatan", kata Direktur Utama PLN.
Katanya sih dengan mengoplos batu bara menjadi batu bara + biomassa bisa mengurangi emisi karbon. Tapi apa iya?
Coba telaah deh. Menambahkan biomassa ke dalam pembakaran batu bara berupa pellet kayu berarti membutuhkan pohon sebagai bahan biomassa. Itu artinya harus membuka hutan. Lha? Lha? Gak bahaya tah?
Padahal jelas sekali dampaknya, alih-alih mengurangi emisi karbon, yang ada justru menambah-nambah gas rumah kaca. Deforestasi hutan akan menyumbang karbon yang sangat tinggi. Trend Asia mengestimasi, ada emisi karbon sekitar 26,48 juta ton yang setara karbon dioksida per tahun.
Kalian yakin ini solusi? Atau......
Kesimpulan
Jujur, aku senang sekali karena isu perubahan iklim sekarang kian massif berhembus. Apalagi memang sudah ditampakkan tanda-tandanya secara nyata oleh alam. Gerakan pemuda-pemuda Indonesia juga mulai terlihat. Namun, seperti yang ditulis di awal, kerusakan alam sejatinya terjadi berkali-kali lebih cepat daripada usaha perbaikannya. Maka, sudah seharusnya gerakan perbaikan ini didukung 1000%, jangan ditunggangi lagi dengan kepentingan-kepentingan lainnya bahkan yang terlihat manipulatif. Toh, ini juga demi bumi yang ditinggali anak keturunan kita nanti. Yuk, sama-sama kita berikhtiar dan berdoa agar planet biru ini tetap layak menjadi tempat tinggal kita, manusia.
0 komentar