BLANTERWISDOM101

Masyarakat Adat, Bukan Sekedar Penjaga Adat

Jumat, 19 Agustus 2022

 Jumat pekan lalu saya dan teman-teman #EcoBloggerSquad belajar bersama soal masyarakat adat. Jujur, ini adalah materi yang belum pernah saya dapatkan kecuali saat belajar IPS zaman SD, itupun hanya menyenggol soal keberagaman suku dan budaya bangsa. Selebihnya nope. Jadi, acara webinar kemarin serasa dapat angin segar khasanah baru.

Kembali ke materi.

Lalu, apakah masyarakat adat sama dengan orang suku?

Pertanyaan yang otomatis terlontar di benak kita. Dan jawabannya, ya, orang suku adalah bagian dari masyarakat adat.

Sebenarnya tidak ada definisi khusus tentang masyarakat adat bahkan di tingkat internasional. Tapi jika ditinjau dari definisi kerja yang dibuat oleh Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN), sebuah komunitas disebut masyarakat adat, jika memenuhi syarat sebagai berikut;

  1. Ada komunitasnya, di mana terdapat sekelompok orang yang hidup berdampingan di suatu wilayah
  2. Ada wilayah adat yang terikat, di mana komunitas itu berada pada teritori tertentu dan terikat satu sama lain
  3. Ada hukum adat yang mengatur, komunitas yang berada di wilayah tersebut kemudian diatur oleh hukum tidak tertulis yang sudah turun-temurun dipakai
  4. Ada sistem nilai dan pengetahuan, mencakup pengetahuan tradisional yang dapat berupa pengobatan tradisional, perladangan tradisional, permainan tradisional,
  5. Ada hubungan spiritual dengan alam, biasanya masyarakat adat punya ritual-ritual kepercayaan yang erat hubungannya dengan alam

Masyarakat Adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki sejarah asal-usul dan menempati wilayah adat secara turun-temurun. Masyarakat Adat memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial-budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mempertahankan keberlanjutan kehidupan Masyarakat Adat sebagai komunitas adat.

(AMAN)

Masyarakat adat ini tidak hanya ada di Indonesia, tapi di seluruh dunia. Ya, setiap negara punya masyarakat adat yang memperkaya budaya masing-masing negara. Bahkan setiap tanggal 9 Agustus ada yang namanya International Day of the World's Indigenous Peoples atau Hari Masyarakat Adat Internasional.

Hayo, pasti belum tau kan kalo masyarakat adat sampai dibuat tanggal khusus secara internasional? Sepenting apa sih mereka?

PBB mengatakan bahwa masyarakat adat adalah pewaris, praktisi dan penjaga budaya yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungan. Peringatan ini juga akan meningkatkan perlindungan hak-hak masyarakat adat yang ada di seluruh dunia karena masyarakat adat merupakan pemegang keragaman budaya, tradisi, bahasa, dan sistem pengetahuan.

Sistem pengetahuan masyarakat adat mampu membuat kain tenun yang rumit

Menurut Kata Data, Indonesia punya bahasa daerah terbanyak kedua di dunia, yaitu sebanyak 715 bahasa (atau bisa jadi masih lebih banyak). Belum lagi kita bicara hasil kerajinan tangan dan sistem pengetahuan yang mereka miliki.

Menarik ketika mengetahui soal cara mitigasi masyarakat adat dalam menghadapi pandemi covid beberapa waktu lalu. Kalau kita mengira istilah isolasi hanya dipakai oleh masyarakat modern, kita salah. Masyarakat adat pun ternyata punya SOP isolasi dan karantina wilayah ala mereka dengan penamaan yang beraneka ragam. Seperti yang saya kutip dari website Kemendikbud ini.

Seperti masyarakat adat Punan Tubu di Kalimantan. Mereka telah mengenal wabah sebagai kelapit (sehat yang hari ini, lalu sakit, dan besok bisa mati). Untuk menghindari penularan, warga diajarkan segera menjauh ke dalam hutan dan tinggal terpisah dalam kelompok-kelompok kecil yang hanya terdiri dari keluarga inti. Sedangkan mereka yang sakit akan ditinggalkan di satu tempat khusus yang telah ditandai. Orang Rimba, Jambi menyebut tradisi ini sebagai Besesandingon, di mana mereka akan masuk ke hutan dan menetap dalam waktu tertentu di sana. Selama masa Besesandingon ini, Orang Rimba juga melarang orang asing masuk. Sedangkan masyarakat suku Baduy di Banten, respons mereka terhadap pandemi dilakukan dengan cara menutup atau memperketat pintu masuk ke wilayah mereka. Karantina wilayah serupa juga dilakukan masyarakat adat Boti di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Mereka menutup desa dari kunjungan orang luar dan meminta agar raja menutup sementara rumah raja dari kunjungan tamu.

Tempat menaruh hasil panen Suku Baduy

Tidak hanya berhasil melakukan karantina wilayah, masyarakat adat juga berhasil memenuhi kebutuhan pangan mereka dengan kegiatan bertani dan berladang seperti keseharian mereka.

Mereka mungkin tidak duduk di bangku sekolah untuk belajar sains tapi mereka bisa membaca alam untuk menghitung kapan waktu bertanam. Seperti Suku Sasak di NTB yang memakai patokan bintang rowot atau suku Jawa yang bisa mengetahui kapan durian akan berbuah (ketika api gumarang alias rasi taurus ada di timur saat fajar menyingsing) atau duku berbuah saat gubug penceng -rasi bintang crux- ada di timur saat matahari terbenam.

Sistem pengetahuan yang unik ini tentu menjadikan masyarakat adat tidak bisa dipandang sebelah mata. Sistem pengetahuan mereka datang secara turun menurun benar-benar selaras dengan alam. Ibaratnya mereka tidak ingin menyakiti alam, penghormatan mereka terhadap alam sudah tidak perlu diragukan. Ya, masyarakat adat tidak hanya menjaga adat, mereka penjaga planet dari kerusakan alam.

Masyarakat Adat Penjaga Bumi

Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, masyarakat adat mengelola secara bijaksana, mereka tidak mengambil banyak dari hutan, hanya seperlunya dan cukup hari iru dan besok. Jika sudah habis maka mereka akan mencari lagi ke dalam hutan. Hutan bagi mereka adalah sebuah swalayan raksasa yang memenuhi semua kebutuhan hidup mereka; oksigen, air, buah, sayur, hewan, kayu bakar, bahkan pakaian mereka pun semua didapat dari hutan.

Ajaibnya, walau semua terpenuhi lewat hutan, tapi hutan tidak rusak di tangan mereka. Bagi mereka alam seperti roh leluhur mereka yang pantang untuk tidak dihormati.

Tapi seiring dengan arus modernisasi, beberapa pemuda adat tergiur untuk mencoba kehidupan kota dan mencari pekerjaan di sana. Jika pemuda berkurang, siapa yang meneruskan tradisi? Maka dibentuklah program memanggil pemuda kampung untuk kembali ke masyarakatnya. Gerakan Pulang Kampung dab Kedaulatan Pangan, sebuah gerakan yang digagas untuk mengembalikan para pemuda ke tempatnya dan membangun kampung mereka. Macam-macam kegiatan mereka, seperti membuat konservasi berbasis pertanian organik dan sekarang sudah ada 84 sekolah adat untuk melakukan transmisi traditional knowledge dari tetua kampung ke pemuda, membuat tempat wisata berbasis tanaman herbal seperti di Arangangia di Gowa, Sulawesi Selatan.

Masalah Masyarakat Adat

Penggusuran wilayah adat

Tantangan masyarakat adat zaman sekarang sungguh berat karena datang dari berbagai pihak. Seperti program pembangunan waduk atau PLTA yang merampas hutan adat mereka. Bukan tidak boleh, tapi sebaiknya pemerintah ikut menghormati wilayah adat karena di dalamnya ada hutan rimba yang dijaga ratusan tahun dan lahan bertani masyarakat. Jika memang untuk rakyat, pembangunan tersebut harusnya mencari lahan bebas dan tidak banyak pohon di sana.

Selain itu, masalah masyarakat adat juga banyak berasal dari perusahaan, sebut saja tambang batu bara dan sawit. Bahkan mereka menggunakan metode devide et impera dengan mengiming-imingi para pemuka di masyarakat dayak agar mempengaruhi yang lain untuk menyerahkan hutan mereka untuk dikuasai perusahaan. Bahkan jika kekeuh, ketua adatnya yang justru dikrimanlisasi, seperti di Kinipan.

Krimininalisasi kegiatan berladang

Ancaman lain datang dari sisi lain. Kegiatan berladang yang sudah dilakukan turun temurun sejak nenek moyang mereka, hari ini diangkat seakan-akan kasus berat penyebab karhutla. Padahal karhutla yang asapnya sampai berbulan-bulan dan menyebrang hingga negeri jiran bukan dari masyarakat adat, melainkan oknum perusahaan sawit. Perusahaan perkebunan membakar ratusan hektar untuk mengurangi biaya pembersihan lahan. Jauh lebih beretika masyarakat adat.

Masyarakat adat punya aturan dan tata ruang, misal mereka punya wilayah adat 10.000 hektar, diantaranya terbagi menjadi; hutan rimba, hutan larangan, hutan produksi, hutan perkampungan, dan pekuburan. Mereka tidak mungkin mereka berladang di hutan rimba dan larangan, tapi mereka berladang di ladang yang digilir balik.

Apa itu gilir balik?

Jadi, mereka membersihkan di lahan yang tidak ada pohon besar dengan siklus 5 tahunan gilir balik. Lahan ditebas, dikeringkan, lalu dibakar, namun ada sekat api yang harus dijaga dan jika terkena ladang lain atau hutan di sebelahnya bisa kena denda berat. Berladang pun dilindungi oleh UU No 32 tahun 2009.

Berladang dengan sistem yang dilakukan oleh masyarakat adat adalah sistem bertani berkelanjutan, karena ladang yang sudah dipanen akan diistirahatkan beberapa tahun hingga nutrisi tanah tersebut kembali dan siap ditanami. Adapun pembakaran lahan yang mereka lakukan justru menyiapkan tanah dengan menutrisinya lewat abu bakaran yang kaya karbon. Ingat, pembakaran lahan oleh masyarakat adat dilakukan dengan sangat ketat, mereka anti sekali api merembet ke luar lahan mereka.

RUU Masyarakat Adat

Masyarakat adat sebagai bagian dari warga negara Indonesia, sudah sepatutnya mendapatkan pengakuan eksistensi mereka. Namun sampai sekarang kita belum punya UU khusus untuk mereka. Adanya RUU yang sampai sekarang masih mentok karena tarik ulur antara presiden dan DPR.

Mengutip dari Madani Berkelanjutan, masalah ini disebabkan karena tumpang-tindih dengan izin/konsesi, Area of Interest (AoI) Food Estate, dan PIPPIB (Penetapan Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru Hutan Alam Primer Dan Lahan Gambut).

Madani juga menemukan bahwa masih banyak hutan alam dan ekosistem gambut di Wilayah Adat, masing-masing seluas 5,6 juta hektare dan 878 ribu hektare. Wow, banyak!

Gimana menurutmu? Bagus jatuh ke tangan perusahaan atau masyarakat adat?

Wah, jelas sekali kalo soal hutan alam dan ekosistem gambut, masyarakat adat adalah penjaga sejati.

Bahkan dokumen Nationally Determined Contribution atau NDC Indonesia telah mengakui traditional wisdom (kearifan lokal) sebagai hal yang dapat menjadi bagian dari upaya penurunan emisi. Oleh karena itu, peran masyarakat hukum adat dalam menjaga keseimbangan lingkungan juga patut mendapatkan perhatian. 

Dukung pengesahan RUU Masyarakat Adat!

Referensi

  1. https://langitselatan.com/2008/06/11/menggali-kekayaan-astronomi-dalam-kearifan-lokal/
  2. https://aman.or.id/news/read/mengenal-siapa-itu-masyarakat-adat
  3. https://www.madaniberkelanjutan.id/2021/08/02/menakar-perkembangan-ruu-masyarakat-hukum-adat
Share This :

0 komentar