Bismillah….
Pagi itu, seperti hari-hari sebelumnya, Pak Suhaimi naik ke pohon enau untuk mengambil sadapan air nira yang sudah ditampung sejak sehari sebelumnya. Air nira itu lantas dibawa pulang untuk diolah menjadi gula aren.
Proses pemasakan air nira dalam kuali besar tidak membutuhkan proses yang rumit. Hanya menunggu dan mengaduknya agar tidak gosong separuh. Setelah mengental, Pak Suhaimi menuang dalam cetakan berbentuk gunungan.
Setelah dingin lalu dikeluarkan dan dijual pada pengepul. Hanya Rp 4000/kg gula aren itu dihargai.
Kegiatan menyadap nira itu adalah mata pencaharian Pak Suhaimi yang diwariskan secara turun-temurun. Namun, dengan harga gula aren yang murah itu banyak dari teman-teman Pak Suhaimi yang lama-lama menyerah. Hasilnya tidak sebanding. Apalagi dengan kebutuhan yang semakin meningkat.
Bagaimana kalau pohon enau kita tebang saja, dijual batangnya, bukankah sagunya lebih banyak menghasilkan?
Pemikiran seperti itupun diamini petani air nira lainnya. Mereka menebang pohon enau, menjual sagunya, dan yah, pundi-pundi rupiah masuk kantong lebih banyak.
Gula Aren Naik Level
Bisa ditebak, lama-lama Desa Bihara Hilir jadi lebih “terang” karena satu per satu pohon enau yang tinggi dan rimbun perlahan menghilang.
Sederhananya, para petani air nira itu hanya ingin mengubah nasib mereka dengan pekerjaan yang lebih menghasilkan. Namun, nyatanya menjual batang pohon enau hanya sekejap saja mendatangkan uang. Selebihnya mereka akan bingung akan kerja apa lagi kalau pohon enau itu tandas?
Adalah sekelompok penduduk yang menyadari hal itu sebelum semuanya terlambat. Mempertahankan pohon enau di desa mereka adalah hal mutlak. Tanpanya, desa mereka yang ada di daerah aliran sungai akan mudah kena banjir jika musim hujan.
Jika menebang pohon enau bukan solusi sedangkan mempertahankan gula aren tidak kunjung memperbaiki nasib, maka harus ada jalan keluar yang lain: gula aren harus naik level.
Bu Rinawati, inisiator gula aren semut di Desa Bihara Hilir, yang berhasil saya wawancarai mengatakan bahwa gula aren yang secara turun-temurun dihasilkan dalam bentuk cetakan (berbentuk batok kelapa atau kayu yang dilubangi) sekarang mereka ubah tekstur-nya menjadi gula aren serbuk atau gula aren semut. Lalu gula aren semut ini dikemas dalam pouch.
Dengan perubahan kemasan seperti ini, harga gula aren menjadi naik berkali lipat dengan pangsa pasar menengah ke atas. Booom! Sambutan terhadap gula aren semut ini pun luar biasa. Harganya pun merangkak. Jika membaca di situs Dinas Perdagangan Kalimantan Selatan, gula semut produksii Desa Bihara Hilir ukuran berat 250 gram seharga Rp 12.000.
Petani air nira pun bisa menyadap air nira sambil bersenandung. Jerih payahnya sekarang lebih dihargai.
Konon, perubahan lifestyle zaman sekarang membuat gula aren semut jadi sasaran pelaku gaya hidup sehat. Walau sama-sama manis, ternyata gula aren lebih rendah Indeks Glikemik (IG) nya dibanding gula pasir (red: IG adalah ukuran seberapa cepat sebuah makanan bisa menaikkan gula darah dalam tubuh, semakin tinggi nilai IG semakin cepat menaikkan gula darah).
Bahkan jika IG gula aren cetak dibandingkan dengan gula aren serbuk, gula aren serbuk punya IG lebih rendah daripada gula aren cetak. Koq bisa, sama sumbernya, hanya beda di tekstur, bisa berbeda IG nya?
Ternyata, dari sebuah makalah Science Repository yang dikeluarkan oleh IPB didapatkan fakta bahwa pada gula aren kristal terdapat kadar serat pangan yang sedikit lebih tinggi daripada gula aren cetak. Itulah yang membuat IG gula aren serbuk lebih rendah
Praktis sudah, menaikkan level gula aren menjadi gula semut adalah win-win solution terbaik: para petani nira bisa menaikkan kualitas hidup mereka karena gula semut dihargai lebih mahal dan alam pun bisa terjaga.
Inilah perbandingan Indeks Glikemik dari 3 macam gula:
Dari Gula Semut Jadi Desa Proklim
Keberhasilan usaha Ibu Rinawati dan penduduk desa Bihara yang sepakat meningkatkan taraf hidup mereka tanpa membabat pohon enau, membuat desa ini dianugerahi Sertifikat Proklim Utama berdasarkan SK Menteri Lingkungan Hidup No. 401 MENLHK PPI/PPID 10/2020.
Proklim (Program Kampung Iklim) betujuan untuk merangkul partisipasi masyarakat dalam kegiatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Pohon sejuta manfaat yang punya nama ilmiah Arenga pinnata ini tidak hanya memiliki air nira. Buahnya bisa jadi kolang-kaling, daunnya digunakan sebagai atap untuk masyarakat yang masih memakai konsep rumah tradisional, pelepahnya sebagai bahan bakar ketika memasak air nira dan kulit buahnya sebagai bahan pupuk organik.
Tajuk desa proklim yang disematkan pada Desa Bihara karena penduduk desa telah menunjukkan inisiatif nyatanya dalam upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dengan menjaga kelestarian pohon aren yang tumbuh di desa mereka.
Tumbuhan kelompok palem-paleman ini mempunyai akar yang rapat dan menyebar, tidak perlu perawatan yang intensif. Pohon enau atau hanau dalam bahasa Hulu Sungai (Kalimantan Selatan) ini pun termasuk dalam golongan tanaman reforestasi yang biasanya ditanam pada lereng tebing, daerah aliran sungai, dan tanah gundul.
Suatu hari, saya pernah menanyakan kepada teman yang ada di ibukota Balangan. Dia bercerita bahwa kotanya sering banjir jika hujan tidak berhenti dalam 24 jam.
Saya yang penasaran lalu bertanya, “Bagaimana dengan Desa Bihara Hilir?”
Dia menjawab, “Awayan (red: Kecamatan Awayan) selalu banjir setahuku. Tapi temanku di Bihara Hilir malah bilang di desanya hampir tidak pernah kena banjir, padahal desanya masuk kecamatan Awayan”.
Maka, benar kata orangtua dulu, jika kita menjaga alam, maka alam juga akan menjaga kita.
***
Inilah kisah dari Desa Bihara Hilir yang menjadi salah satu desa yang survive dari banjir. Iya, akhir-akhir ini berita banjir di provinsi Kalimantan Selatan lebih sering terdengar, dampak dari kerusakan lingkungan.
Penduduk Bihara Hilir bangkit dari keterpurukan dikarenakan gula aren yang dihargai rendah, kini menjadi sentra produksi gula aren semut yang berdampak pada meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Dampak lebih besar lainnya, mereka berhasil menyelamatkan desanya dari sapuan banjir yang semakin rajin menghampiri kabupatennya, karena mempertahankan pohon-pohon enau tegak berdiri di desa mereka.
Itulah ‘azimat’ mereka, azimat penangkal banjir yang disediakan dari alam.
Bagi saya, inilah contoh nyata praktek ekonomi sirkular yang tetap memperhatikan alam dalam membangkitkan roda perekonomian.
Alam terjaga, mata pencaharian pun menjanjikan kehidupan yang layak. Mereka menjadi harapan terang benderang bahwa Indonesia bisa bangkit bersama dalam keberlanjutan.
0 komentar