BLANTERWISDOM101

Menemukan Ide Tulisan yang Menarik

Selasa, 11 April 2023

 

Chapter 3 kali ini mengambil judul Menemukan Ide Tulisan yang Menarik. Dalam video juga sudah dipaparkan oleh Bang Tere Liye bagaimana menemukan sudut pandang yang spesial dan tidak pasaran. Jujur saja, ini juga termasuk yang sulit karena sepertinya aku belum terbiasa berpikir out of the box. Selama ini masih cukup puas sebagai penikmat fiksi penulis favoritku. Tapi baiklah, karena aku terlanjur ikut kelasnya, kepalang tanggung. Mari basah kuyup sekalian.

Tugas chapter 3: Gunakan sudut pandang tidak lazim, sesuatu yang menarik, jangan menulis hal-hal yang telah dipikirkan oleh orang lain. Tuliskan satu-dua paragraf (3-6 kalimat) dari kata-kata berikut.

1. Awan

Lingga merebahkan diri di bawah pohon, dekat kambing-kambingnya yang asyik makan rumput kering sejak tadi. Dia menatap ke langit biru yang bersih. Memperhatikan keberadaan awan yang entah kemana. Tapi Lingga tahu, inilah tanda musim kemarau telah tiba. Saat panas menyengat di siang hari karena tidak adanya awan berarak yang memayungi. Tapi di malam hari suhu turun dengan drastis, menjadi dingin lebih dari hari biasanya. Orang-orang menyebutnya bediding.

Lingga teringat, Ibuknya pernah cerita. Saat musim kemarau tiba, awan-awan jadi sulit terbentuk. Langit tanpa awan ini lalu membuat panas matahari -yang diserap bumi pada siang hari, lepas begitu saja ke luar atmosfer karena tidak terhalang oleh awan. Begitulah. Kabar baiknya, jika musim kemarau sudah tiba, artinya penduduk desa akan bersiap menanam palawija.

2. Tangis

Tangis kesedihan mengiringi pemakaman seorang bapak yang juga tetanggaku. Iring-iringan pekuburan melewati rumahku tidak henti-hentinya. Siapa gerangan beliau? Ternyata beliau adalah mantan kepala sekolah yang termahsyur di zamannya. Dari mantan anak buah, mantan rekan seprofesi sampai mantan murid-murid di sekolah datang sebagai tanda bela sungkawa. Kesedihan seakan menguar di udara. Siapa saja yang melihatnya pasti yakin bahwa yang meninggal adalah orang baik.

Aku hanya memperhatikan dari jendela kamarku. Mengintip. Aku sudah bertakziah malamnya. Jadi pagi ini cukup ayah dan ibuku saja yang mengantarkan ke pekuburan. Hingga, tiga ibu-ibu berhenti tepat di samping jendela nako-ku. Aku beringsut menarik kepalaku. Takut ketahuan. Samar-samar aku mendengar tawa kecil mereka, "Mati juga si kepsek sok alim itu. Masih teringat-ingat bagaimana dulu dia menyuruhku memanipulasi anggaran kegiatan sekolah. Padahal sudah kutolak, tapi malah diancam." Aku diam, mematung, lalu. "Memang sok alim. Kalian ingat kan, guru baru yang dilecehkan waktu itu? Sampai sekarang masih trauma dan bolak-balik ke psikolog." Timpal yang lainnya, bergidik. Lalu pergi menyusul ke pekuburan, dengan memasang kembali muka sedih mereka.

Sisa aku yang tertegun sendiri di balik jendela nako.

3. Lupa

"Kamu .....yang waktu SMP juara umum kan? Nasuha Ariyanti?" Tanya seorang pembeli yang tiba-tiba berhenti memilih apel di depannya.

Aku tersentak. Tidak menyangka ada yang mengenaliku. Malu, kesal. Tapi karena dia pembeli, jadi aku hanya menggeleng sambil tersenyum, "Bukan." Jawabku pendek sambil mengemas apel pilihannya, "Ada lagi Mba? Biar ditimbang sekalian?"

Dia hanya menggeleng. Itu saja. Sekali-dua masih curi-curi memperhatikanku. Aku menyerahkan bungkusan apel dan tersenyum sopan, "Maaf Mba, salah orang." Dia lantas mengangguk kikuk. Masuk ke dalam mobil sedan putihnya.

Aku bukan Nasuha Ariyanti. Aku Nasuha Meriyanti. Jadi aku tidak bohong soal dia salah orang. Tapi, soal juara umum waktu SMP, ah, aku sudah lupa. Buat apa pula diingat. Toh, tidak ada kebanggaan dari sana. Fakta bahwa dulu aku juara umum sekolah tetap tidak bisa menyaput bahwa diriku sekarang hanyalah pedagang apel gerobakan di pinggir jalan. Masih tetap miskin sejak dulu. Dan kalian tahu siapa pembeliku tadi? Indri. Artis sekolah yang dulu suka mem-bully teman-temannya. Lihat. Sekarang dia hidup lebih dari cukup.

Aku sungguh sudah lupa bagaimana kehidupan bisa adil memberikan bagiannya.

Share This :

0 komentar