InstagramYouTube

Mom, Don’t be Ashamed of Me

 

Hanzo, anak keduaku yang lahir di akhir Juli 2016 lalu, melengkapi kebahagiaan keluarga kecil kami yang dikaruniai anak perempuan terlebih dahulu.

Hanzo, nama yang awalnya berat untuk diberikan, selain karena aksennya terdengar kurang lazim di telinga juga karena anak saya tidak mewakili ras Mongoloid yang disandangnya. Hmm yaah, maksud saya dia tidak seputih orang-orang Jepang, seperti asal muasal namanya, kulitnya justru sawo matang khas Indonesia. Ada sedikit kekhawatiran di masa depannya nanti dia akan diolok-olok temannya perihal namanya dan warna kulitnya. Ah, semoga saja tidak.

Terlahir dengan berat hanya 2.7 kg. Awalnya memang saya merancang agar BB tidak lebih dari 3 kg untuk mengurangi dahsyatnya kontraksi adekuat. Tapi, makin kesini aku justru kepikiran,  “apakah anakku cukup gizinya selama di dalam rahim?”

Kehamilan yang tidak Bahagia

Satu kekhawatiranku sejak hamil adalah terlambatnya tumbuh kembangnya. Sewaktu hamil kondisi perekonomian keluarga sedang dalam keadaan surut sesurut-surutnya. Aku sering kecapekan karena harus membuat pesanan donat dan pizza – agar dapur ngebul, akibatnya aku  sering naik darah dan melampiaskannya. Itu belum terhitung aku malas minum suplemen penunjang kehamilan. Apa? Susu hamil? Jangan ditanya.

Kurang nutrisi selama hamil, stress, capek yang bertubi-tubi, membuatku tidak merasakan kegembiraan sebagai seorang ibu yang akan dikaruniai anak. Jujur, aku bahkan sempat menyesal kenapa janin ini jadi. Kalau bisa nanti-nanti saja, kala kami sudah mapan dan beres urusan finansial. Tapi, rencana Alloh tetap berjalan. Aku tidak mungkin berhenti apalagi balik arah.

Dan, dia pun akhirnya lahir ke dunia dengan kondisi ketuban keruh dan dipaksa lahir dengan 2 kali oral-oxytocine.

Dia berbeda

0 bulan
Sejak awal aku menduga dia akan berbeda dengan kakaknya. Kalau kakanya kuat dia justru terlihat lemah, mudah sekali sakit. Kalau kakaknya sakit paling lambat sembuh 7 hari, maka dia paling cepat sembuh 7 hari. Dan, tahukah kalian di umurnya yang baru 0 bulan dia sudah meminum obat beberapa kali karena batuk yang tidak kunjung sembuh. Kalian pernah mendengar dan menyaksikan bayi yang kulitnya saja masih keriput terbatuk-batuk setiap saat? Itu menyedihkan sekali.

Dan aku baru tau di kemudian hari ternyata itulah bibit asma yang dibawanya.

1 tahun
Saat anak-anak seusianya sudah berjalan atau minimal belajar merambat, dia belum. Dia masih saja asyik merangkak kesana kemari. Saat yang lain dengan lucunya babling “mama, baba, iya, caca, dada”  dia hanya mengeluarkan suara “huh huh huh”. Saat temannya aktif berjalan-jalan walau tertatih-tatih, dia hanya duduk melihat tanpa ekspresi, lesu.

Ada apa dengan mu, Nak?😢😢

10 Oktober 2017
Usianya sudah 14 bulan tapi tidak juga ada tanda-tanda dia mau belajar berjalan. Babling apalagi. Aku sudah cemas, bolak-balik meminta waktu suami – yang super sibuk, untuk ditemani ke klinik tumbuh kembang. Akhirnya waktu itupun tiba, kami masuk ke klinik tumbuh kembang dan bertemu dengan tetangga jauh yang juga membawa anaknya yang sampai usia 3 tahun tidak bisa bicara dan…..tidak mau menatap mata orang lain. Sama seperti Hanzo 😢.

“Bagaimana kalau nanti dirujuk ke psikolog?”, tanyaku dengan rasa cemas yang tidak bisa lagi ditutupi.

“Ah, ga. Itu buat yang ada masalah. Anak kita ga ada masalah koq”, dengan yakinnya suami bilang seperti itu. Tapi, aku ibunya yang setiap saat di sampingnya justru tidak yakin.

Sampai akhirnya nama kami dipanggil. Duduk berhadapan dengan dokter anak, wawancara dan observasi selama 15 menit.

Hanya 15 menit tapi itu rasanya saya seperti pesakitan yang tertampar-tampar.

Kalian mau tau diganosa dokter?

Anak saya normal panca inderanya, tapi kurang – bahkan sangat kurang- stimulasi dan bahkan sudah mengarah ke autis!

Dokter dan terapis memang halus sekali memilih kata, mereka tidak mengatakan segamblang itu tapi otakku menangkap hal tersebut. Belum cukup, dokter menambahkan pula “wejangan” bahwa aku harusnya lebih optimal mengasuh anak karena saya tidak bekerja, sekaligus menyampaikan kebingungannya mengapa aku membuat anak terlambat tumbuh kembangnya sedangkan aku hanya di rumah saja, tidak bekerja dan tidak ada dititip ke pengasuh. Akhirnya, kami dirujuk ke psikolog.

Kecemasanku menjadi kenyataan.

Malamnya setelah pulang dari klinik itu aku menangis 7 hari 7 malam, mata jadi sembab dan hati jadi lebih sensitif. Aku yang melihat suami masih bisa menikmati anime aku tegur habis-habisan, bisa-bisanya dia santai saat istrinya terisak-isak memikirkan masa depan anak.

Tidak, aku tidak akan ke psikolog. Aku belum siap mendengar hasil diagnosa apapun tentang anak saya. Tapi, perkataan suami yang meyakinkanku bahwa anak kami bukan autis juga tidak saya terima mentah-mentah.

Perjalanan pun Dimulai

Apa yang saya lakukan setelah dari klinik tumbuh kembang? Saya menangis. Iya, betul. Setelah 3 hari 3 malam menangis dan rasanya gairah hidup tersedot ke black hole di galaksi lain, saya memutuskan untuk berhenti nge-blog dan keluar dari komunitas. Saya tidak tau apakah sementara atau selamanya. .

Saya putuskan berhenti menulis setelah saya berhasil meredam depresi paska lahir justru dengan menulis.

Saya ingin fokus dengan anak-anak saya tanpa dibebani kewajiban apapun. Saya ingin membangun bonding dengan mereka sebelum semuanya terlambat. Saya ingin menerapi anak saya karena saya ibu-tidak-bekerja yang seharusnya maksimal dalam urusan pengasuhan, seperti yang dikatakan dokter.

Setelah memutuskan untuk hiatus ngeblog saya mencoba menjalankan apa yang disuruh oleh dokter dan terapis. Salah satunya tidak membolehkan anak menonton tv, memperbanyak bacaan buku, ngobrol, dan aktivitas sensorik lainnya.

Masalah anak saya cukup kompleks saat itu. Dari 4 ranah yang wajib diperhatikan – kemandirian, bahasa, motorik kasar, motorik halus-, anak saya nyaris keempatnya bermasalah. Mungkin hanya motorik halusnya saja yang baik, dia sudah bisa memasukkan benda ke dalam botol dan sudah bisa menjumput. Tapi itu rupanya bukan sesuatu yang berharga. Untuk usianya yang baru 1 tahun ini memang dituntut untuk perkembangan motorik kasar dan bahasa.

Motorik kasar dan bahasa adalah dua aspek yang jauh sekali tertinggal, karena anak saya di usia 14 bulan belum bisa berjalan dan belum babling dan oh satu lagi, atensinya juga kurang. Hanya sekilas kontak mata yang terjalin. Kontak mata kurang itu artinya kurang juga kesempatan dia memperhatikan dengan matanya dan  apalagi mengolah dengan otaknya.

Bertemu dengan Orang-Orang Super

Usianya saat itu 16 bulan, 2 bulan berlalu paska berkunjung ke dokter anak saya belum juga berani menemui psikolog. Saya masih berusaha untuk terapi mandiri di rumah. Saya juga ikut kuliah WhatsApp grup tentang tumbuh kembang anak, berdiskusi khusus dengan narasumbernya yang kebetulan praktisi di bidang pendidikan dan terapis untuk special-need-kids. Mba Febrin Aisyah, terima kasih ya Mba sudah meluangkan waktunya khusus untuk memantau perkembangan Hanzo. Semoga dirimu selalu bermanfaat untuk banyak orang.

Mba Febrin pernah cerita bahwa anak autis itu bukan anak yang berkekurangan. Mereka punya potensi yang kalau berada di tangan yang tepat justru bisa melejitkan bakat alamiahnya. Seperti muridnya yang bisa 5 bahasa di usia 7 tahun dan dia….autis.

Saya tau mba Febrin sedang menguatkan saya yang sedang rapuh. Tapi entah kenapa masih ada denial di hati. Anak autis itu amazing, tapi saya tetap belum siap. Tapi, bagaimanapun suasana hati saya kala itu, penjelasan beliau seperti lampu di ruangan gelap, membuat jadi tahu fakta lain yang tersembunyi dari mereka para special-need-kids.

Saya juga berusaha menghubungi mba Yeni Sovya yang sudah terkenal di dunia blogging sebagai blogger dengan spesialisasi parenting dan anak berkebutuhan khusus. Saya juga berdiskusi dengan mba Indira dan Ummu Ihya yang kaya akan pengalaman semisal.

Terima kasih ya Mba-Mba semua atas ilmunya. Semoga ada amal jariyah yang mengalir atas kalian.

Terapi yang Dilakukan

Berdasarkan hasil sharing dengan terapis di klinik tumbang tempo lalu dan yang saya temui di dunia maya, ada beberapa terapi mandiri yang saya lakukan, di antaranya;

1. Saya membatasi exposure Hanzo terhadap televisi dan gadget. Malah awalnya saya berlakukan no tv sama sekali, sebulanan paska “vonis” dokter di rumah tidak ada lagi suara tv di rumah. Walaupun sekarang sudah agak longgar, tv boleh nyala saat kartun kesukaan kaka saja.

2. Saya lebih sering membawa Hanzo keluar rumah, bermain di luar tanpa alas kaki. Mengizinkan kakinya bersentuhan dengan tekstur tanah yang beraneka ragam. Olah gerak, dan tentu saja belajar jalan. Alhamdulillah akhirnya setelah ditatih selama 2 bulan dia bisa berjalan, lama juga ya, tapi saya tetap bersyukur.

3. Mulai lebih sering membacakan buku untuknya, walau tidak intens sekali karena fokusnya belum terarah.

4. Sering mengajaknya bicara untuk melatih kontak matanya. Waktu umur di bawah 1 tahun sebenarnya kontak matanya normal, dia mau menatap lawan bicara. Tapi menginjak 1 tahun ke atas saya kehilangan kontak matanya. Sayangnya saya terlambat menyadarinya, saya lebih sering menatap layar komputer dan hp untuk mengembangkan blog saya yang masih seumur jagung saat itu. Ya, saya menebus kesalahan saya dengan membenamkan penyebab itu semua.

5. Kontak matanya adalah hal krusial yang urgen saya dapatkan untuk saat itu. Sehingga saya melakukan berbagai cara untuk memancingnya melihat saya, seperti melakukan cilukba dengan berbagai ekspresi, misal “(panggil nama sapaan) Dedek, lihat Umi, Nak! Ci luukk…. BAAA! (pasang muka senang, lalu kemudian cilukba lagi dengan muka kaget, marah, bahagia, sedih dll). Responnya? Lumayan, dia tertawa dan menatap mata saya…..sebentar saja. Hiks, Ok, kita berusaha lagi.

6. Minum suplemen penambah nafsu makan dan otak. Kami diresepkan Likurmin dan minyak ikan oleh dokter anak. Selain menstimulasi kontak mata dan berjalannya dokter juga mengevaluasi makannya. Memang Hanzo kurang sekali nafsu makannya dan – makdudul- punya ibu kaya saya yang kurang inisiatif dan minus kreatif menyajikan menu. Kalau anak susah makan otomatis gizinya kurang, kalau gizinya kurang otomatis kekurangan zat-zat pembangun seperti zinc, zat besi, dan kalsium. Bagaimana bisa otaknya berkembang kalau seperti itu? Bagaimana bisa kakinya kuat kalau seperti itu?

Sekarang dengan terapi mandiri dan ilmu yang semakin digali, ada perubahan sedikit demi sedikit. Perubahannya apa saja? Ada di tulisan saya berikutnya,  insya Alloh.

***

Hanzo: Mom, please don’t be ashamed of me?!

Me: No, I don’t be ashamed of you, I just be ashamed of my self. Pardon me dear😢

 

4 thoughts on “Mom, Don’t be Ashamed of Me”

  1. Semangaaaat mba fika :). Ini jd pembelajaran utk aku jg, supaya bisa lbh deket ama anak. Krn akupun jg jarang interaksi ama mereka. Tp msh bersyukurnya babysitter anak2 aktif kasih stimulasi. Cuma tetep aja, hrsnya itu juga tugasku 🙁

    Reply

Leave a Comment