BLANTERWISDOM101

Pengalaman Cabut Kuku Kaki. Gimana Rasanya?

Senin, 20 Januari 2020

 "Kamu pernah melahirkan kan? Ya udah ga apa-apa, ga usah takut, masih jauh rasanya koq" (dr. ACS)

***

 

Assalamu'alaikum...

Bonjor everyone? Apa kabarnya? 

Aku? Kalau aku tentu saja nano-nano karena habis cabut kuku. Hohohoho. Ada yang pernah cabut kuku juga? Atau lagi bermasalah sama kukunya tapi maju mundur mau dicabut? Kali ini tulisanku agak mencekam karena membayangkan prosesnya aja cukup membuat ngilu. Tapi sebenarnya gimana rasanya? Beneran sesakit yang dibayangkan ga sih?

Ok, sebelumnya izinkan aku bercerita asal mula kuku bermasalah ini ya. 

Jadi, kuku yang rusak ini karena kemasukan tanah pas aku lagi berkebun (bersihkan taman depan dan belakang) sekitar 1,5 tahun lalu. Tanahnya masuk ke sela-sela perbatasan kuku dan kulit samping. Kalau kuku yang normal kan bagian itu menempel dengan kulit dan tertutup, nah kalau aku bagian di situ renggang ga tau kenapa. Jadi memang mudah banget kemasukan kotoran. Akhirnya lama-lama permukaan kuku yang harusnya menempel dengan kulit perlahan lepas dan membuat celah semakin luas. Kotoran pun semakin banyak yang masuk.

Sakit? Ga. Ga sakit, cuma kalau dilihat mertua ga enak. Wkwkwkw.

Keadaan kuku yang demikian biasa disebut cantengan.

Padahal kalau cantengan biasanya bagian jari tersebut akan terasa sakit karena biasanya ada kuku yang tumbuh abnormal menancap di kulit. Tapi aku ga sakit, kecuali kalau jempolnya lembab karena terpaksa pakai kaus kaki basah (kehujanan misal). Nah, baru dah itu sakit.

Hanya saja, ketika aku konsulkan hal ini ke dokter keluarga, beliau bilang kukunya sudah mesti dicabut walau ga sakit. Kotorannya pasti udah banyak banget terselip karena kondisi kuku yang sudah ga menempel pada kulit jari.

Duh, apa katanya? Cabut?!!!!

Cabut kuku memang terdengar horor dibandingkan cabut bulu ketek apalagi uban. Walau rambut dan kuku sama-sama tersusun atas keratin dan sama-sama punya akar tapi jelas porsi keratin dan ukuran akarnya berbeda. Yang rambut diameternya 17 mikrometer, yang kuku 5000 mikrometer (alias 5 milimeter). Kelen hitung aja kira-kira perbandingan rasa sakitnya...

Baca juga: Batu ginjal atau anyang-anyangan?

Persiapan Cabut Kuku

Sebenarnya yang persiapan itu dokternya sih, wkwkwkw, akunya mah tinggal berbaring aja sambil peluk bantal guling (dan siap-siap teriak di dalamnya, xixixi). Sebelumnya aku juga sudah baca-baca pengalaman orang cabut kaku. Yess, 3 dari 3 artikel pribadi yang kubaca semua membuat epilog di ujung tulisannya "Jangan lagi sampai 2x cabut kuku". Wow, tambah ketar-ketir donk aye. Hahahhaa *salah bacaaaa *toyor kepala.

Tapi makin kesini rasa takutku dikalahkan rasa enegku melihat kuku tidak kunjung membaik walau sudah dibersihkan. Kalian yang pernah punya kuku cantengan atau rusak karena jamur juga pasti risih kan. Berasa ga bisa jaga kebersihan badan sendiri ya kan? Hiks (padahal banyak faktor cantengan ini, ga melulu soal "kamu ga bersih").

Apalagi si dokter bilang "Udah pernah melahirkan kan? Ya udah gpp, santai aja, masih jauh rasanya". Dih, dokternya kaya tau aja rasanya melahirkan (tapi dia mungkin pernah kena cakar dan remas istrinya yang lagi kontraksi adekuat, muahaha).

Ya sudah, tidak ada lagi alibi buat ga cabut kuku.

Dan akhirnya...... bismillah, hari ini kuku rusak itu akan dieksekusi. 

Diawali dengan suntik anestesi lokal sebanyak 2 titik dengan obat bius , jempol mulai kebas tidak sampai 1 menit. Iya, cepet banget karena hitungan 20-30 detik kakiku sudah ga merasakan apa-apa. Lalu, proses pencabutan itu berlangsung tanpa aku amati karena...ya iyalaah takut pingsan.

Dan voilaaa.....dalam waktu 5 menit kuku cantengan itu akhirnya terpisah jiwa raga dari jempol cantikku *halah.

Cepet banget menurutku.

Sakit pas dicabut? Ga koq. Alhamdulillah. Beneran. Cuman kerasa alot-alot ditarik aja. Tapi sempat gugup pas dokter bilang kukunya susah dicabut, sudah gugup aja takut rasa sakitnya melebihi ambang obat biusnya. 

Setelah kuku dicabut, permukaan daging yang terbuka dibersihkan dari kotoran. Kemudian ditutup dengan perban yang sekaligus membantu mempercepat penyembuhan luka. Polimem namanya. Jadi perbannya ga cuma menutup luka aja. Setelah perban khusus itu dilapis lagi sama perban kasa dan diakhiri dengan plester, supaya ga goyang perbannya. Semua proses aku rasakan tanpa melihat langsung. 

Luka dibalut sampai 3 hari dan ga boleh kena air supaya lukanya lekas kering. Ohya, perban diganti setiap hari. Karena aku sudah pasti ga berani, jadi urusan shop ganti perban juga minta tolong dokternya. 

Perawatan Paska Cabut Kuku

Jadi memang selama 3 hari diusahkan sekali jangan kena air. Tetap mandi dan tetap wudhu tapi ya, cuma bagian yang dibedah itu jangan basah. Insya Alloh ada keringanan untuk yang sakit. Sholat masih bisa koq, cuma gerakannya jadi ga sempurna. No probs, Alloh knows us best.

Ohya, setelah proses pencabutan itu ga serta merta langsung terasa sakit di aku karena masih ada pengaruh anestesinya. Tapi, setelah berkurang separo biusnya udah mulai cenat-cenut tapi ga sampai yang kata orang "sakitnya Ya Alloh, sampai ubun-ubun". Ga, ini masih bisa ditolerir koq.

Apalagi dokter sudah membekali asam mefenamat untuk mengurangi rasa sakit paska bius hilang. Plus antibiotik selama 5 hari demi meminimalisir infeksi sekunder dari bakteri.

Aku keberatan sih waktu itu, tapi beliau bilang "Kamu boleh ga minum AB asal cabut kukunya di Eropa sana". Wkwkwkw, iya kali cabut kuku doank segala ke Eropa. Katanya kondisi iklim di sana dan di sini mempengaruhi kebijakan pemberian obat karena iklim tropis yang hangat sekaligus lembab dan basah lebih disukai patogen dibanding iklim dingin.

Hal yang paling susah dilakukan paska cabut kuku adalah membuat perban agar tetap kering selalu. Ohh, tentu.....tydack mudah dengan kondisi punya 2 bocah aktif minus ART. Ya, yang main kran air lah, yaa yang tiba-tiba pup lah, yaa yang harus dimandii lah. Jelas yaa, basah kaki emak!

Jadi, sehari aku bisa ganti perban 1-2x tergantung level basahnya. Dan setelah hari ketiga perban dilepas total. Kata dokter lukanya kudu kena angin supaya kering. Baru hari itu aku berani liat kondisi jempolku saking takut sendiri. Huhuhu. 

Baca juga: Salep non steroid untuk dermatitis atopik

 

Kenapa sih Bisa Cantengan?

Nah, pas aku tanya dokternya gimana caranya supaya ga cantengan lagi, beliau langsung jawab "Jangan jorok".

Eh, maksudnya apa? *tersinggung aye.

"Jangan main tanah", tambahnya.

Ahahahahaha, tau banget tu dokter pasiennya suka maen tanah. Yah, gimana donk udah keturunan bapak suka nanam-nanam bunga ya otomatis main tanah lah.

Ga puas sama jawaban beliau aku singgah ke website kedokteran dengan bahasa awam seperti Hellosehat.com. Jadi, dari sana ada beberapa faktor penyebab cantengan, di antaranya;

  1. Memotong kuku dengan tidak benar. Jika kuku jari kaki dipotong terlalu pendek atau menembus hingga ke bagian pinggiran kuku, dapat menyebabkan kulit jari kaki tumbuh tidak normal dan menembus kulit.
  2. Bentuk kuku. Bentuk kuku yang seperti kipas menyebabkan kuku lebih mudah menusuk kulit.
  3. Kaki berkeringat. Keringat pada kulit jari kaki dapat menyebabkan kuku menjadi lunak dan mudah rusak, sehingga terselip pada kulit.
  4. Cedera kaki. Cedera pada kaki, misalnya akibat tersandung atau menendang benda keras secara tidak disengaja, dapat menyebabkan kerusakan kuku atau membuat kuku menancap pada kulit.
  5. Menggunakan sepatu atau kaus kaki yang ketat dan sempit. Kaus kaki dan sepatu yang sempit akan menekan kuku kaki, sehingga dapat menembus kulit.
  6. Kurang menjaga kebersihan kaki.
  7. Faktor genetik. 

Nah, ada 7 faktor ya. Kalau banyak gini aku jadi lebih meraba-raba faktor terkuatnya. Sepertinya kesalahan fatalku ada di no.1 dan 5. Jadi, aku suka berlebihan potong kuku, jadi ujung kukunya cukup rendah dibanding ujung jari. Kuku jempolku juga tebal dan itu berpotensi lebih untuk infeksi. Tebal banget  sampai keras kalo dipotong.

Bentuk telapak kaki yang lebar juga membuatku selalu kesempitan jika memakai sepatu, akhirnya kuku paling ujung sekaligus yang paling besar jadi kegencet. Bentuk telapak kaki ini sampai pernah jadi bahan olok-olokan teman SMP dulu. Hufh. Bahkan dibanding telapak kaki suami yang cenderung ramping, telapak kakiku terlihat lebih sangar karena lebar. Jadi kalau ditarik dari tumit ke jari garis telapak kakiku itu kek mekar. Selain itu faktor genetik ternyata punya peran. Itu sepertinya benar juga. 

 

***

Jadi, begitu ya pengalaman cabut kuku. Ga bisa cerita banyak karena memang kukunya belum tumbuh. Nanti 3 bulan lagi insya Alloh aku update seiring dengan pertumbuhan kuku yang katanya akan seperti normal lagi. Aaamiin. Mohon doanya ya.

Jadi, petuahku kali ini sama dengan petuah yang sudah pernah cabut kuku "Jangan pernah cabut kuku sekalipun", bukan karena sakit banget, tapi karena sungguh tydack elegan. Sungguh....

Maka, bersyukurlah kalian yang punya kaki ramping, ga suka maen tanah, dan punya genetik kuku bagus. Bersyukur ya gaes...

Sekian artikel ngilu ngilu club ku kali ini. Nantikan artikel kesehatan lainnya yaa. See U!

 

Share This :

0 komentar