Cerita 6 Bulan Pertama Masuk Sekolah [When She Grows-Up More Than I Expect]

Assalamu’alaikum ….

Enam bulan sudah sulungku bersekolah, tepatnya di TK nol kecil. Umurnya 4.5 tahun waktu kumasukkan sekolah yang jaraknya tidak jauh dari rumah.


Muthia tumbuh menjadi anak yang aktif dan cerewet, seperti kebanyakan anak perempuan lain. Tapi, cerewetnya masih terkadang susah dipahami maksudnya apa.


Dan di usianya yang waktu itu 3 menuju 4 dia sudah tertarik dengan angka. Sebelum TK bahkan dia sudah bisa penjumlahan di bawah 10. Tapi, seperti yang kubilang, dia kurang pandai berbahasa, cerewet tapi kurang bisa merangkai kalimat.


Oh, ada lagi….dia juga sangat emosional. Mudah marah dan merajuk (ungkin dia mencontoh ibunya 😳). Sulit diam dan bertingkah. Mewarnai tidak pernah selesai, menyanyi tidak pernah mau betul liriknya.


Sampai saya cemas sendiri bagaimana nanti dia sekolah? Jangan-jangan keluyuran saat gurunya di depan kelas? Jangan-jangan suka marah-marah saat berkawan? Jangan-jangan nanti dia akan kesulitan mengikuti aturan di sekolah? Jangan-jangan….jangan-jangan…..


1-2 bulan pertama

Muthia bukan anak yang terbiasa bangun subuh kala itu. Aku memang belum membiasakannya. Dan itu sebuah kerepotan yang akhirnya aku tuai sendiri. Satu bulan pertama sekolah rasanya setiap pagi hanya dipenuhi oleh teriakan emaknya yang menyuruhnya cepat-cepat.

Bangun pagi terlambat, jangan tanya sarapannya. Tidak ada sarapan kecuali seteguk susu hangat.


1-2x mencoba sarapan di pekan pertama dalam 1-2 sendok dia sudah mual-mual ingin muntah. Besok-besok tidak lagi aku menyuruhnya untuk sarapan karena melihatnya seperti itu rasanya….gemas!


Memang kami biasanya makan selalu di atas jam 8. Saat jeda bermain di rumah baru anak-anak mulai merasa lapar. Nah, di situ saya tidak akan menemui kesulitan memberi mereka makan. Tapi, itu kan dulu sebelum sekolah. Sekarang beda.


Jadi, sebagai gantinya aku bawakan bekal nasi goreng / nasi kuning. Pun setelah pulang sekolah bekal itu masih 90% belum terjamah.


Hari pertama sekolah bagaimana?


Awalnya aku kira dia akan strong, tidak akan menangis seperti kebanyakan anak TK baru, karena….yaa mamanya dulu tidak menangis sama sekali. Tapi, ternyataaa….itu hanya awalnya saja, akhirnya dia menangis juga di hari ke-7. Padahal aku pikir semua sudah aman karena hari pertama dan besok-besoknya dia tidak menangis. Bahkan sudah punya teman akrab.


Ternyata aku baru tau kemudian bahwa teman “akrab” nya itu membully-nya. Awalnya saja berteman baik tapi setelah kawannya punya kenalan baru, Muthia disisihkan. Mulai dari dilarang ikut bermain, diusir ke luar barisan, sampai menyuruh kawan lain tidak menemani Muthia.


Walau ibunya suka marah-marah tapi sedih juga melihat anak sendiri diperlakukan seperti itu.


Pembully-an itu membuat Muthia mogok sekolah selama 10 hari. Awalnya aku pikir dia sakit karena memang badannya panas. Tapi setelah sembuh dalam 3 hari koq minta ga usah sekolah aja. Sudah curiga nih, jangan-jangan….


Dan benar saja, dia mogok sekolah karena dikasari temannya itu. Karena si teman itu melarang yang lain berteman dengan Muthia akhirnya dia hampir tidak berkawan.


Sedihnya, nak….

 

3-4 bulan pertama

Aku bilang untuk tetap kuat dan jangan mudah menangis pada Muthia. Kalau menangis dan terlihat lemah, pembully itu akan kesenangan dan membully Muthia lagi. Tapi, kalau Muthia kuat nanti pembully itu yang akan lemah dengan sendirinya. Dan kutambahi, muthia ga usah balas dengan kejahatan. biarkan saja teman yang tidak baik itu, yang penting muthia jangan lemah.


Susah payah dia menerapkan apa yang aku sarankan. Awalnya masih menangis tergugu setiap kali pembully itu berulah. Mungkin kalau dilarang bermain dia masih ga terlalu sedih, tapi karena efeknya dia jadi ga punya teman, kesedihan itu semakin menjadi-jadi.


Berangkat sekolah lemas. Pulang sekolah apalagi. Ternyata, anakku yang kukira akan sering marah-marah di kelas justru malah sering menangis karena ulah temannya.


Selain itu, teman laki-lakinya ada beberapa yang suka (tidak sengaja) memukul dan menabraknya. Awalnya Muthia menangis karena dikira mereka sengaja melakukannya, padahal ya tidak sengaja, atau kalau boleh dibilang iseng. Yah, namanya anak lelaki selalu punya energi berlebih. Apalagi sekolah Muthia bukan tipe sekolah yang mengutamakan motorik kasar, tipe sekolah TK kebanyakan yang lebih memfasilitasi siswa “duduk manis”.


Suatu hari dia mengadukan Mufid yang memukul tangannya. Padanya kukatakan, “Itu ga sengaja, nak. Anak laki-laki memang suka main kelahi-kelahian (karena motorik kasarnya tidak tersalurkan). Tapi, kalau Muthia ga senang,  bilangin Mufidnya jangan pukul-pukul lagi nanti dosa. Kebanyakan dosa itu tempatnya di neraka. Maulah masuk neraka?”.


Setelah itu sedikit demi sedikit berkurang aduannya tentang anak lelaki yang kasar padanya. Yhaa, dia katakan seperti itu pada teman-temannya. Beberapa anak di usia 4-5 tahun memang sudah mengenal konsep pahala-dosa dan surga-neraka.


Sebenarnya Muthia sudah punya teman yang lain memasuki bulan ke-3 dan 4. Ada 3 orang yang akrab. Bahkan mereka menyapa dengan riang bertemu Muthia.

Tapi, kalian tau tidak apa respon Muthia? Dia hanya menoleh sebentar tanpa senyum lalu melanjutkan langkah menuju kelas. Padahal temannya sudah teriak-teriak seperti layaknya fans yang memanggil artis idolanya. Oh, jaim sekali ternyata dia di sekolah 😌. Besok-besok kukatakan lagi jangan seperti itu, kalau disapa membalas panggil nama dan tersenyum. Nanti kalau sombong ga punya teman. Hmm, setelah itu dia belajar bagaimana merespon sapaan teman dengan baik.


5-6 bulan pertama

Wejangan yang kuberikan pelan-pelan mulai nampak hasilnya. Muthia mulai jarang menangis, setidaknya ketika kutanyakan pada gurunya bagaimana dia di kelas.

Soal pembully itu masih ada, setiap pembully itu beraksi maka pulang sekolah akan terasa suram. Saat itu aku pasti tau dia diperlakukan tidak menyenangkan lagi. Apa yang kulakukan sebagai ibunya? Tetap dengan petuah yang tadi, tidak usah dilawan tapi jangan lemah, jangan menangis. Nanti lama-lama teman-teman Muthia bisa lihat mana teman yang baik mana yang ga, nanti pasti mereka akan pilih teman yang baik untuk diikuti.


Alhamdulillah, sekarang jika diperlakukan tidak menyenangkan Muthia sudah lebih kuat. Sedih, tapi tidak berlarut-larut seperti bulan pertama dan kedua – yang seolah-olah tidak punya teman lagi jika tidak berteman dengan kawan “akrab” nya yang pertama.


Sekarang, Muthia mulai banyak teman. Suka berinisiatif membagi bekal pada teman-teman dekatnya hampir setiap hari. Dia juga kadang-kadang diberi sebagian bekal oleh temannya. Semoga bisa terus tumbuh sifat suka memberi ya, Nak. Karena kita hidup sekarang untuk memikirkan bekal untuk hidup kekal di era selanjutnya. Selain itu, saling berbagi juga menumbuhkan cinta kasih antara saudara.


Itu salah satu yang aku maksudkan, Muthia harus kuat, jangan lemah. Tetap baik dengan teman, nanti dengan sendirinya aura positif akan memancar dan teman yang tidak baik itu dengan sendirinya akan “kalah” karena kita punya “power”.


Alhamdulillah, pelan-pelan intensitas bully-an mulai berkurang sepertinya. Jarang sekali pulang sekolah dengan muka sendu, kecuali aku larang beli jajan 😅.


Another Story about Jajan


Ohya, masalah jajan juga ada cerita. Yaah, kalian mamak-mamak pasti tau masalah sejuta kapel anak-orangtua ini.


Jika ada orangtua yang strict perihal jajan, mungkin aku salah satu orangnya. “Sayangnya”, aku punya anak perempuan yang tidak selalu nurut kecuali argumennya berhasil dipatahkan.


Alhasil dalam 3 bulan pertama sekolah Muthia terpengaruh untuk beli jajanan seperti teman-temannya, seperti minuman saset, snack ber-MSG, snack dengan kemasan lucu tanpa nomor BPOM apalagi logo Halal. Aku? Oh, tentu saja masih dengan prinsip yang sama. Big no!


Dia? Tentu saja merengek plus merajuk sebagai respon andalan ketika permintaannya ditolak.


Aku yang sayangnya waktu itu belum banyak belajar reframing kepada anak menilai sikapnya sangat menjengkelkan. Dengan muka dan sikap keras aku bilang tetap “tidak!”.


Aku sadar akan terlihat terasing, terlihat ibu yang paling sadis di antara para ibu yang berkerumunan menjemput anaknya yang jari-jari kecilnya asik menunjuk deretan jajanan di warung tanda ingin dibelikan. Muthia pun melihat itu dengan wajah melengos seperti ingin bilang “Aku mau juga kaya mereka! Umi menyebalkan!”.


Berulang kali aku menjelaskan kenapa dia dilarang jajan sembarangan. Mulai dari membahas ginjal, otak, hati sampai menyodorkan gambar pasien anak dari internet.


Apakah dia paham dan menurut? Dari sekian panjang lebar penjelasan dia ngotot tetap ingin jajan *so krik krik krik, ga sih? 😴.


Pelan-pelan ya ibu ibu, namanya juga anak-anak *sambil elus-elus dada


1-3 bulan pertama Muthia masih dilarang jajan dan aku masih belum berubah. Tapi, akhirnya ada 1 kejadian yang membuat aku kemudian berfikir karena kejadiannyaa sungguh menyentak naluri keibuanku.


Hari itu aku memasukkan uang tabungan Muthia ke dalam tasnya. Tidak usah di-briefing dia pasti tau itu untuk ditabung karena uangnya aku masukkan di buku tabungan, dan itu rutinitas tiap 2x sepekan.


Besoknya aku dapat pesan WhatsApp dari wali kelasnya, “Bu, ada ngasih uang jajan Muthia kah 50ribu?”. Saya jawab tidak donk, mana mungkin kasih uang jajan segitu banyak. Paling pernah 5ribu dan itu hanya sekali pas dia ikut pulang sama temennya, khawatir jajan pakai uang orangtua temennya jadi aku kasih uang sendiri.


“Kemarin Muthia jajan ke Mak Ijah, Bu, bawa uang 50ribu”, lanjut wali kelasnya sambil menceritakan drama yang menyertainya.


Oh My God, saking ingin jajannya sampai bohong gitu??!


Awalnya aku marah, marah banget. Karena syok, malu, dan kecewa campur jadi satu. Dia bahkan sampai ketakutan melihat wajahku.


Hrrrr….benar-benar 3 bulan pertama yang campur aduk rasanya!


Setelah agak reda baru kutanyakan perihal uang tabungan itu. Yaaah, intinya aku juga yang salah sebagai ibunya. Terlalu ketat tanpa mau memahami keinginan anak. Akhirnya, sejak saat itu kami berdua mencari jalan tengah. Bagaimanakah itu?


Jadi, sekarang setiap pulang sekolah dia ingin jajan aku turuti. Tapi, diapun tau batas-batas mana yang dibolehkan. Jadi kalau ada jajan dia tunjukkan padaku sebelum dibeli dan aku keberatan untuk itu, dia sudah paham artinya; sangat berbahaya (minuman saset, permen kenyal dan serbuk tanpa BPOM), sebaiknya tidak dibeli (snack micin), dan tidak usah jajan sekalian karena mamak lupa bawa duit *EH.


Yeaah, itulah win-win solution terkait jajan dengan anak gadis mungil. Akhirnya deal kami buat untuk kebahagiaan kami berdua. Walaupun adakalanya sesekali saya mengalah kalau dia sudah sangat ingin jajan snack micin. “Ok, sekali aja ya untuk merasai“, jawabku. Jadi besok-besok dia ga akan protes jika dilarang membeli jajan serupa, kan cuma merasai.


***


6 bulan pertama di bangku sekolah dari ratusan bulan yang akan datang sudah dijejakkan olehmu, Nak. Suka duka sudah dilewati, banyak pelajaran dipetik oleh ibumu ini. Kamu pun belajar banyak dari pengalaman barumu ini. Kita sama-sama berproses ya, Sayang. Maaf jika selama membersamaimu, ibumu masih jauuuh dari seorang ibu yang baik lagi sabar. Semoga Alloh perkenankan kita menjadi hamba pembelajar, yang selalu berproses dan berprogress ke arah yang lebih baik. Aamiin….


Btw, semester depan udah ada yang bisa bangun subuh loh. Cieeee… Alhamdulillah💞.


See you next time di cerita selanjutnya!


 



5 thoughts on “Cerita 6 Bulan Pertama Masuk Sekolah [When She Grows-Up More Than I Expect]”

    • iya, ini dilema anak kedua saya Mba, dia qodarullah speech delayed, udah bisa bicara tapi saya rasa sekarang perlu stimulasi sekolah, main dengan teman-teman, tapi dengan berat hati saya ga bisa memasukkannya ke TK

      Reply

Leave a Comment