Assalamu’alaikum Bapak….
Bapak, apa kabarnya? Semoga Bapak baik-baik aja ya di sana. Maaf ya Pak, Fika belum bisa pulang kampung, ayahnya anak-anak belum bisa cuti. Tapi, Fika yakin Bapak di sana ga kesepian walau ditinggal anak cucu ke kota perantauan, karena temen-temen Bapak di sana banyak, tetangga kita juga baik-baik.
Walaupun Fika kangen tapi Fika ga bisa bilang karena memang kita memang ga bisa akrab seperti teman, tapi sungguh banyak hal sebenarnya yang ingin Fika sampaikan.
Dengan surat ini -yang entah sempat terbaca oleh Bapak atau tidak, Fika mau mengucapkan terima kasih atas semua kasih sayang Bapak selama ini, tanggung jawab Bapak terhadap keluarga, didikan Bapak yang keras, dan motivasi akhirat yang Bapak ajarkan.
Kasih sayang Bapak memang tidak terlihat seperti kasih sayang yang lembut pada umumnya orang tua. Bapak orangnya tegas dan bisa dibilang keras. Walaupun masih kecil Bapak selalu nge-push Fika masalah sekolah, tapi Fika berterima kasih untuk itu karena Fika jadi tau arti pendidikan.
Fika ingat sekali dulu waktu TK A nilai rapor Fika semua C dan hanya 1 yang B Bapak marah sekali, padahal waktu itu Fika masih TK A, Fika masih suka main dan memang Fika dulu anaknya ga bisa diem, suka kena tegur ibu guru, alhasil semua bidang nilai anakmu dapat C. Tapi kan Fika masih kecil, Pak, ga tau mana yang seharusnya boleh dan ga boleh dilakukan. Fika sedih kena bentak Bapak, kena pukul jarinya karena membela diri.
Tapi setelah itu di TK B Fika jadi peringkat 1 dan di SD dan SMP bisa jadi juara umum. Ini semua ada andil Bapak untuk mendisplinkan pendidikanku. Tapi, seandainya dulu Bapak membolehkan Fika SMA ke luar kota mungkin Fika bisa lebih dari yang sekarang. Sayang, di antara harapan yang besar untuk pendidikan Fika Bapak dihantui ketakutan akan pergaulan remaja sekarang. Mungkin Bapak sadar bahwa semangat belajar ini pernah turun. Iya, itu karena krisis kepercayaan diri pada diri pribadi Fika karena tak kunjung mendapat kepercayaan penuh dari Bapak sekalipun untuk mendapatkan pendidikan yang lebih berkualitas.
Kasih sayang yang antimainstream juga Bapak berlaku untuk menjaga pergaulan anak perempuanmu ini. Bapak, ingat tidak dulu ada teman laki-laki SMP yang baru Fika kenal datang ke rumah? Sebenarnya Fika sangat risih dengan kehadirannya di rumah yang tanpa izin, jadi Fika punya rencana untuk “mengusir” laki-laki itu dari rumah dengan menyuruhnya ke rumah teman perempuan Fika yang lain yang memang di sana ada teman si laki-laki itu. Teman perempuan Fika itu lebih tau bagaimana menyambut teman karena di rumahnya sering dijadikan tempat “nongkrong”. Lalu Fika juga ke rumah teman Fika untuk kemudian say good bye sama teman laki-laki itu untuk kemudian meninggalkannya di sana dengan temannya. Tapi, apa yang terjadi? Belum selesai Fika pamit Bapak sudah mendatangi rumah teman Fika dengan marah-marah dan (katanya) membawa….. parang. Iya parang kata teman perempuan yang Bapak datangi rumahnya itu.
Fika memang ga tau persis apa yang terjadi karena begitu mendengar suara sepeda motor Bapak Fika langsung kaget dan refleks keluar, pulang ke rumah yang memang cuma berjarak 50 meter. Yang Fika tau Bapak pasti berpikiran macam-macam tentang yang Fika lakukan, Fika tau Bapak marah sekali waktu itu.
Padahal apa yang Bapak pikirkan itu jauh sekali dengan yang Fika pikirkan, Pak. 180 derajat!
Seandainya hubungan kita seperti teman mungkin ga perlu terjadi hal seperti itu, ya Pak! ๐ข Bapak ga percaya sama Fika karena kita ga pernah bertukar pikiran, Bapak ga tau apa yang ada di kepala Fika, Bapak ga tau apa yang Fika rasakan.
Oya, ada lagi yang Fika ingat. Kelas 2 SMP saat malam hari raya Idul Fitri Bapak marah besar karena menemukan surat-surat dari seorang lelaki untuk Fika. Padahal, Pak… Fika membalas suratnya itu karena semata ga enak dengan dia yang sudah SMA. Fika membalas surat-suratnya itu juga karena ga tau motifnya apa dan setelah maksudnya jelas Fika langsung mengakhiri korespondensi itu. Jadi, saat Bapak marah itu kami sudah ga berbalas surat lagi. Tapi, Bapak ga kasih Fika celah untuk menjelaskan. Semua amarah Bapak keluarkan, Fika dimarahi di depan Mama, adek, didengar sepupu dan nenek, di malam yang seharusnya kita semua berbahagia menyambut 1 Syawal.
Fika tau Bapak mungkin parno dengan pergaulan anak zaman sekarang yang memang kelewat batas, jadi Bapak berusaha memproteksi Fika sedemikian rupa. Tapi seandainya kita bisa saling dekat, saling bercerita layaknya teman, mungkin Bapak bisa menyelami jalan pikiran Fika, mungkin Bapak akan tau bahwa Fika saat itu ga seperti yang Bapak bayangkan.
Pak, anakmu ini bukan anak begajulan seperti yang Bapak takutkan, karena sebenarnya Alloh sudah melindungi Fika dengan membuatkan perasaan illfeel setiap ada lelaki yang mendekat. Jadi walaupun banyak yang mendekati tapi cuma Fika “sambut” di awal, jika mereka ingin “masuk” lagi lebih dalam, perasaan Fika ke mereka berubah jadi ga enak, illfeel, maka saat itu Fika akan menjauh sejauh-sejauhnya. Dan dari sedemikian teman laki-laki itu yang pernah jadi close boy friend cuma 2 dan waktu terlama Fika pacaran cuma sebulan. Bapak ga tau kan fakta itu? Bapak ga akan tau karena Fika ga ada kesempatan cerita banyak.
Sedih rasanya tidak pernah dapat kepercayaan dari Bapak. Seandainya boleh memilih dulu, Fika ingin hubungan kita layaknya seperti teman karena remaja itu fitrahnya tidak suka dihakimi, tidak suka selalu disalahkan. Remaja itu inginnya di dengarkan, dijadikan teman, diajak bertukar pikiran, dimengerti perasaannya. Karena saat remaja itu adalah saat peralihan dari masa kecil menuju dewasa, maka sangat wajar ada banyak hal berbeda yang terjadi dan sangat normal jika ada rasa ingin tahu yang besar. Yang diperlukan bukanlah keterkungkungan, kediktatoran dan semacamnya. Yang remaja inginkan hanya seorang teman.
Fika terbatas pergaulannya setelah kejadian “Bapak bawa parang” karena setelah itu nyaris tidak pernah lagi Fika berhubungan dengan lelaki. Padahal banyak kasus di luar sana anak-anak yang terlalu bebas bergaul justru karena dia merasa dikekang oleh orangtuanya. Dan untuk ini Fika merasa patut bersyukur, alhamdulillaah Alloh menjaga Fika.
Hingga akhirnya ada yang datang ke rumah dan serius meminang. Itu pasti karena untaian kata penuh harap kepada Pemilik Semesta, darimu.
Terimakasih Bapak, Fika yakin dibalik kerasnya cara Bapak menjaga anak-anaknya ada doa yang selalu berpilin ke atas menembus langit dan akhirnya didengar Alloh. Doa orangtua untuk anak-anaknya yang tidak pernah pamrih๐. Dan karena doa itu juga sekarang penjagaan Bapak terhadap gendhuk-mu ini sudah berakhir, dan dilanjutkan oleh seorang laki-laki yang insya Alloh baik ๐. Terima kasih atas doa-doanya ya, Pak.
Oya bapak, kemarin baru aja penerimaan CPNS, tapi Fika ga daftar karena banyak sekali pertimbangannya salah satunya di kota perantauan ini susah nyari baby sitter yang baik. Maaf ya, Pak ga bisa memenuhi keinginan Bapak untuk jadi PNS. Padahal Fika tau Bapak pasti pengen liat Fika kerja dan jadi abdi negara karena Bapak dan Mama sudah sekolahin Fika sampai sarjana.
Tapi Bapak ga maksa lagi seperti dulu, ga bersedih lagi seperti yang lalu, dan sudah mulai legowo sama keputusan Fika ini.
Di balik sosok yang keras itu, ada yang patut Fika syukuri, Bapak bukanlah orang yang haus materi dan ingin dibalas. Padahal bisa saja Bapak memaksa Fika untuk tetap kerja dan harus jadi PNS. Tapi, nyatanya Bapak malah “risih” ketika Fika mau memberi sesuatu, sekalipun itu hanya alat kesehatan untuk memantau tekanan darah Bapak.
Bapak ingin Fika kerja bukan karena ingin dikirimi uang tiap bulan, tapi karena merasa sayang sudah mendidik dengan semaksimal mungkin, mengusahakan apapun itu untuk pendidikan Fika, tapi setelah berhasil meraih gelar Fika malah memutuskan untuk di rumah dan tidak bekerja. Tapi, Bapak sudah ikhlas dan tidak mempermasalahkan itu sekarang. Terima kasih ya, Pak.
Fika juga ingat bagaimana dulu Bapak dan Mama sering mengajak Fika ke pengajian di komplek perumahan tercinta, PTP Pelaihari. Setiap ada perayaan hari besar Islam kita sekeluarga ber-4 mendatangi mesjid untuk mendengar kajian ustadz yang sengaja diundang dari luar kota. Bapak dan Mama juga yang mencontohkan Fika untuk tak boleh lalai sholat wajib dari kecil dan menyediakan buku-buku bacaan yang siap dilahap.
Itu adalah habit baik yang kalian tanamkan hingga Fika sempat mengecap hawa manis ghirah keIslaman dari kecil.
Dan sekarang ketika Fika sudah besar orientasi Bapak kepada akhirat pun semakin besar. Di saat pensiun seperti sekarang, di mana uang tak terlalu ada, Bapak masih berusaha untuk mewaqafkan harta yang Bapak punya untuk musholla dekat rumah yang bertahun-tahun terbengkalai. Memang nominalnya tidak banyak, tapi itu sebagian besar yang Bapak punya.
Di saat orang seusia Bapak masih memikirkan investasi ini itu, Bapak justru bilang tidak berhasrat. Fika tau alasannya, karena pikiran Bapak sudah tersedot untuk persiapan “yang akan datang” sehingga tak ada lagi sisa untuk memikirkan dimensi yang sekarang.
Ah, Bapak…. Fika iri betul belum bisa sepenuhnya seperti itu. Tapi semoga seiring waktu Fika bisa meneladani Bapak dalam hal urusan ukhrawi.
Teruntuk Bapak yang wajahnya semakin keriput, rambutnya semakin memutih, dan pendengaran yang juga semakin berkurang, maafkan anakmu ini ya, Pak, yang mungkin jauh dari harapan Bapak. Tidak banyak yang bisa Fika janjikan kepada Bapak terlebih masalah materi. Tapi yang Bapak harus tau akan ada anakmu yang akan selalu mengingat masa-masa kecilnya yang penuh didikan dan mengenangnya dalam tulisan serta tak lupa memanjatkan rangkaian doa untuk orangtuanya. Semoga Alloh senantiasa menjaga Bapak dalam ketaatan, melindungi Bapak dan Mama dari marabahaya, menaungi dalam keberkahan, dan berkumpul lagi kita sama-sama di Surga-Nya. Aamiin aamiin aamin Ya Mujiibassailiin.